Cari Blog Ini

Jumat, 09 Juni 2017

Rumah Adat Tradisional Aceh


                  Rumah Adat Tradisional Acèh

Disusun Oleh: Andi Mulya Sakiman

Di Kabupaten Pidië masih banyak kita jumpai rumah adat tradisional yang pernah didirikan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam (1607 – 1636). Antara lain seperti kepunyaan T. Sulaiman seorang Panglima Raja Acèh yang terletak di Gampóng Kuta Tungkóp Kecamatan Indrajaya. Setelah T. Sulaiman meninggal, rumah  tersebut  diserahkan  kepada  anaknya T. Ahmad. Kemudian oleh T. Ahmad rumah tersebut diserahkan pula pada anaknya T. Sulaiman, setelah T. Sulaiman meninggal kini rumah tersebut diserahkan pada anaknya yang bernama T.M. Manzali yang kini berumur 30 tahun.


Rumah adat tradisional yang telah berumur lebih dari 80 tahun terdapat di kampung Puló ië. Rumah tersebut didirikan oleh Teuku Sama Indra, seorang “Ulèë Balang” atau hulu balang di masa kerajaan Acèh.

Selanjutnya rumah tradisional yang terdapat di Kampung Peulandök Teungóh kepunyaan Cut Haji Nain (85 tahun), rumah tersebut pertama sekali dibuat T. Sulaiman Peulandök kemudian diserahkan pada Teuku Haji Chiek Panglima Nae, selanjutnya diserahkan kepada T. Sulaiman. Terakhir diserahkan kepada Cut Haji Nain di kampung Peulandök Teungóh.


Bangunan arsitektur lain yang terdapat di Pidië yang belum terdokumenter dengan baik antara lain :

  1. Mesjid Beuracan, dibangun tahun 1560 di Meureudu.
  1. Mesjid Kuta Tgk. Chiek Ulim, dibangun tahun 1890 di Ulim Tunóng.
  1. Mesjid Kuta Batèë, dibangun tahun 1660 di daerah Kruet  Meureudu. 
  1. Mesjid Medinah, dibangun tahun 1660 di Kuta Batèë Meureudu.
  1. Dan rumah Acèh yang didirikan setelah tahun 1900.
Pembangunan Rumah Adat Tradisional.

Pola perkampungan tradisional Acèh merupakan bangunan yang penting karena rumah adat adalah komponen dari unsur fisik yang mencerminkan kesatuan sakral dan kesatuan sosial. Oleh karena itu bila membangun sebuah rumah adat harus melalui tata cara dengan pelaksanaan relegius atau magis relegius.

Demikian juga bentuk dan ukuran denah sebuah rumah adat harus dibuat menurut ketentuan-ketentuan arsitektur tradisional. Karena rumah adat merupakan komponen penting dari unsur fisik yang mencerminkan kesatuan sosial maka pembangunannya dilaksanakan secara gotong royng.

Rumah adat tradisional ini dibuat besar karena mempunyai fungsi sosial sebagai tempat berkomunikasi, bermufakat, tempat mengadakan kenduri, peresmian pernikahan, hitanan dan sebagainya.

Tiang-tiang penyangga rumah terbuat dari batang pohon yang utuh, bagus kwalitasnya, termasuk bagian-bagian yang diberi ornamen tatah. Tata cara pelaksanaan upacara harus dilakukan secermat-cermatnya. Pemilihan bahan bangunannya, letak dan arahnya harus dengan tepat.

Di Kabupaten Pidië masih banyak kita jumpai rumah adat, terutama didaerah-daerah perkampungan yang sampai sekarang masyarakatnya masih menyenanginya.

Rumah adat masih dibuat oleh masyarakat dewasa ini, tetapi bentuknya lebih kecil jika dibandingkan dengan rumah adat yang dibuat pada masa-masa kerajaan Acèh dahulu. Hal tersebut mengingat pemeliharaannya yang banyak memakan biaya.

Selain dari itu rumah adat yang didirikan sekarang kurang memperhatikan seni ukir yang artistik dibandingkan dengan masa-masa yang lalu. Ini disebabkan karena tukang ukir yang sekarang tidak diturunkan atau diajarkan secara turun temurun sebagai suatu profesi atau pendidikan. Tapi hanya sekedar meniru sehingga kita lihat makin lama makin menurun nilai artistiknya.

Bentuk dari rumah adat tradisional memanjang dari Timur ke Barat. Hal tersebut untuk memudahkan menentukan arah dimana letak Kiblat.

Bagi tamu yang jauh tak perlu lagi bertanya mana arah kiblat untuk shalat. Ruangannya terdiri dari lima ruangan. Rumah adat tradisional mempunyai ukuran 15 x 9 meter. Sedang dapurnya 15 x 4 meter atau 15 x 5 meter. Rumah tersebut terdiri dari lima ruang. Bagian depan ruangan itu disebut “seuramóë rinyeun” yang biasa diucapkan “ramóë ranyeun” artinya serambi tangga (ramóë = serambi, ranyeun = tangga) yang biasa kita sebut sekarang serambi depan. Bagian tengah disebut “ramóë inóng” artinya “serambi perempuan” (inóng = perempuan). Sedangkan ruang bagian belakang disebut “ramóë kót” singkatan dari kata “ramóë likót” (likót = belakang).

Tinggi rumah adat tradisional dari tanah sampai pada lantai serambi depan dan serambi belakang adalah 2,50 meter, sedangkan tinggi ramóë inóng atau serambi tengah dari tanah adalah 3 meter.


Bentuk rumah tradisional Acèh mencerminkan ciri khas seni bangunan (arsitektur) daerah. Ia dibangun di atas sejumlah tiang-tiang berjajar membujur lurus rata dari Timur ke Barat. Ditengah-tengah tegak “tamèh raja” (tiang raja) dan “tamèh putróë” (tiang putri). Jumlah tiang tidak termasuk dapur sejumlah 24 tiang. Tiang tersebut berbentuk bulat dengan garis tengah 30 cm. Untuk meletakkan bantalan tiang tersebut dipahat pada arah yang membujur, dan arah yang melintang. Bantalan yang membujur disebut “töi” sedang bantalan yang melintang disebut “neurók”. Töi dan neurók tadi diberi berbaji agar rumah tersebut berdiri dengan kokoh dan kuat. Kayu bantalan yang melintang letaknya dibawah bantalan yang membujur. Diatas bantalan yang melintang dijajarkan pula alas lantai yang disebut “lhue”. Lhue ini mempunyai  jumlah  yang  tertentu pada setiap rumah.    Pada beranda depan (ramóë ranyeun) sebanyak  9  buah, pada beranda perempuan (ramóë inóng) sebanyak 9 buah pula. Lantainya terbuat dari pohon nibung, sebangsa pohon enau yang berbatang tinggi. Pohon nibung itu dibelah selebar dua jari kemudian diikatkan bersusun pada lhue tadi dengan ijuk yang dipintal rapi. Pada sekeliling rumah terdapat dua buah papan yang tebal dan lebar untuk menutupi neurók, töi dan lhue. Papan yang paling bawah disebut “larak” dan diatasnya disebut “kindang”. Pada larak dan kindang inilah kita dapat bermacam-macam motif ukiran.

                                             Ukiran-ukiran pada kindang  

                               gamba naga      bungóng jeumpa       bungóng meulu

 Ukiran-ukiran pada larak:

Diatas tiang terdapat bara setebal 15 cm dan lebar 30 cm. Dari tulang bubungan sampai keatas bara diletakkan “gaseuë” atau kasau dari kayu yang bulat lurus yang dikupas kulitnya yang dipilih dari kayu tahan lama dan tidak dimakan bubuk. Dibawah kasau terdapat “geuneulöng” yaitu kayu bulat sejajar dengan bara, gunanya untuk mengikat kasau agar kasaunya menjadi sejajar. Pada ujung kasau bagian bawah terdapat les plang dipasang miring kedalam yang disebut “neuduek gaseuë”. Sedang pada ujung rumah sebelah Barat dan Timur terdapat les plang sebagai penahan atap dari terpaan angin disebut “penimpi”. Neuduekgaseu maupun penimpi juga mempunyai ukiran-ukiran sederhana, jika dibandingkan dengan ukiran-ukiran lainnya.


Dari neuduek gaseuë sampai kepuncak bubungan diantara selang-selang kasau itu terbentang tali ijuk disebut “talóëbawa” yang berlipat dua sehingga kedua ujungnya dipersatukan pada ujung sebelah bawah yang disimpul sangat kuat dan dibentuk seperti sebuah sanggul bernama “bruek geutheun”. Pada tali ijuk ini diikat atap rumah tersebut. Ikatan ijuk tersebut gunanya ialah apabila terjadi kebakaran maka simpul ijuk yang terbentuk sanggul ini sajalah yang dipotong sehingga atap tersebut turun dan jatuh kebawah secara serentak. Telah sebegitu jauh pemikiran mereka mendirikan sebuah rumah, untuk menghindari dari kebakaran. Pada ujung Timur dan Barat sejajar dengan kuda-kuda letaknya agak keluar terdapat “tulak angèn” (tolak angin). Tolak angin ini keseluruhannya penuh dengan ukiran-ukiran malahan ada kita jumpai kaligrafi huruf Arab yang diambil dari ayat-ayat Al-Qur’annul Karim. Dari ujung bawah cucuran atap (neuduek gaseuë) sampai ke bara dibuat “sandéng” sebagai bagasi untuk menyimpan dan meletakkan barang-barang, seperti tikar dan bantal.

Tulak Angèn (Tolak Angin)

Dinding rumah terbuat dari papan yang letaknya berdiri yang berbentuk petak-petak yang berbingkai pada setiap jarak setengah meter.

Bentuk dinding ruang bagian dalam, papan dinding dipasang berdiri dengan ukuran yang sama, sedang pada ujung-pangkalnya terukir berbagai bentuk.



Di bagian sebelah Barat maupun sebelah Timur jendela masing-masing tiga buah yaitu pada masing-masing serambi. Pada kisi-kisi dan bingkai jendela juga terdapat ukiran apakah ia diambil dari motif alam sekitar maupun kaligrafi huruf Arab.


         Sebuah kaligrafi huruf Arab pada daun jendela Rumah Adat             Tradisional Aceh, sebagai pengaruh Kebudayaan Islam


Pintu depan terdapat di ruangan tengah dari rumah itu yaitu pada ruang ketiga. Pada pintu juga kita dapati ukiran yang artistik yang disebut “pintö Acèh” (pintu Acèh). Motif pintu ini banyak kita lihat pada motif-motif perhiasan emas dan perak seperti kalung, cincin, anting-anting dan sebagainya. Ada juga motif-motif pintu ini yang bermotif bunga dan kaligrafi.


       Tangga rumah tradisional Acèh menghadap ke Selatan dan Utara. Jumlah anak tangganya 10 anak tangga, yang berfilsafahkan jari yaitu “naik turunnya”, “baik buruknya” seseorang itu bergantung kepada jari tangan dan jari kaki. Apakah seseorang itu melangkahkan kaki pada tempat yang baik atau melakukan pekerjaan yang baik dan apakah seseorang itu bekerja dengan rajin atau berpangku tangan. Pada kisi-kisi kanan kiri tangga terdapat pula ukiran-ukiran. Tangga tersebut terlindung dari sinar matahari dan hujan karena kasau cucuran atap yang sejajar dengan tangga memanjang kebawah sehingga dapat melindungi tangga tadi dari sinar matahari dan hujan agar jangan lekas lapuk dan rusak. Tiang-tiang atap pelindung tangga ini berbentuk segi empat terukir rapi.


  Ukiran tiang atap tangga                                           Ukiran tiang atap tangga
   bagian bawah                                                              bagian atas

Kamar hanya dibuat pada ramóë inóng atau serambi perempuan sebanyak dua buah, sebuah pada ujung sebelah Barat dan sebuah lagi pada ujung sebelah Timur.

Pada kebiasaan adat disini rumah ditinggali oleh anak perempuan. Anak perempuan yang tertua setelah kawin diberi rumah sebelah Barat sedang yang bungsu diberikan di bagian sebelah Timur.

Dinding dalam bagian bawah yang mengelilingi ramóë inóng juga terbuat dari papan yang terukir yang disebut “peulangan”.


Salah satu ukiran yang terdapat pada peulangan

Dinding ramóë inóng terbuat dari papan, tapi ada juga yang di anyam dari jenis buluh seperti tepas dengan memberi tulang dari buluh pada setiap jarak sekepal tangan  (+ 10 cm) dengan arah melintang dan membujur merupakan persegi panjang. Tulang-tulang tersebut dijahitkan dengan tali ijuk yang dipintal kecil, dengan silang menyilang dengan bentuk bermacam-macam motif seakan disulam layaknya.


Bentuk-bentuk lubang angin pada seuramóë ranyeun (serambi depan) ataupun   Ramóë liköt (serambi belakang): 







Atapnya terbuat dari  ön meuria” atau daun rumbia yang disemat dengan rotan yang dibelah kecil-kecil. Tulang  atapnya terbuat dari batang pinang atau bambu yang dibelah-belah sepanjang empat hasta (+ 2 meter). Daun rumbia tersebut dijahitkan pada bilah bambu maupun pinang tadi, kemudian dijemur sampai kering. Mengatapi rumah disebu “seumeudap”. Atap rumah adat tradisional sangat rapat. Atap tersebut disusun berjarak hanya dua jari sehingga susunan atap tersebut sangat tebal. Diharapkan oleh mereka, sekali menaikkan atap dapat tahan 25 sampai 35 tahun.

Mencari Bahan Rumah

Kayu perlengkapan bahan-bahan kebutuhan rumah dicari dan diusahakan jenis kayu yang tertentu didalam hutan belantara yang diperkirakan umur kayu tersebut telah cukup tua, lurus serta harus berdiri tegak. Menebang kayupun harus ditentukan waktunya tak boleh pada waktu air pasang. Jika hal tersebut terjadi maka kayu tersebut kelak akan dimakan bubuk. Oleh karena itu setiap penebang kayu harus mengetahui perjalanan bulan. Dengan demikian ia mengetahui kapan air laut pasang naik, maupun pasang surut.

Kayu peralatan pembuatan rumah ditarah sesuai dengan keperluan ditempat dimana kayu itu ditebang. Setelah lengkap maka diadakan upacara gotong royong menarik serta mengangkat bahan rumah tersebut, dengan mengadakan kenduri sekedarnya. Demikianlah dilaksanakan beberapa hari sehingga selesai semua bahan-bahan perumahan terangkat dan terkumpul.

Setelah terkumpul maka bahan perumahan tersebut dibersihkan serta disesuaikan segala bentuk maupun besar sesuai dengan yang diinginkan. Bagian-bagian yang diukir seperti dinding yang menutup bantalan, tangga, tolak angin dan sebagainya diselesaikan kemudian.

Upacara Mendirikan Rumah

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya yang bahwa mendirikan rumah adat tradisional mempunnyai tata cara dengan melaksanakan serangkaian upacara relegius dan sedikit magis relegius. Pertama ialah dengan mengadakan kenduri doa selamat kepada Allah SWT, dijauhkan bala yang akan menimpa dan diberikan keselamatan. Dan dengan kenduri ini sekaligus agar tidak mendapat gangguan dari orang halus yang pernah tinggal ditempat tersebut sebelumnya. Untuk hal ini dipanggil sanak famili dan tetangga beserta semua kerabat dalam perkampungan dengan menyajikan sedikit kenduri selamatan seperti ketan kuning kue dan minuman sedikit seperti kopi dan teh. Sebelum menghidangkan kenduri terlebih dahulu berdoa bersama-sama dengan dipimpin oleh seorang Teungku (Ulama).

Kedua melanjutkan dengan acara tepung tawar (peusijuek). Peusijuek dimaksud agar rumah yang akan ditinggali nanti terasa dingin dan nyaman. Alat peusijuek ini terdiri dari daun sidingin (ön sinijuek), sejenis rumput yang berbentuk daun pisang yang mempunyai bunga diujungnya bercabang yang disebut “naleuëng sambö” dan anak pisang yang kecil. Kesemua ini dimasukkan kedalam sebuah bejana yang berisi air beras. Air inilah yang dititikkan atau dipercikkan pada kaki-kaki tiang yang akan didirikan. Dalam acara peusijuek ini juga dilanjutkan dengan menyiramkan beras padi pada tiang-tiang dan pada tempat-tempat rumah yang akan dibangun.

Ketiga ialah dengan menanamkan sebuah periuk tanah atau kanót yang diisi dengan emas seberat setengah mayam atau semayam, perak, kunyit, beras padi. Periuk ini beserta isinya akan ditanam dibawah “tamèh putróë” atau tiang putri yang terletak ditengah, disebelah kiri “tamèh raja” atau tiang raja.

Setelah selesai acara demi acara barulah dilaksanakan mendirikan tiang-tiang satu persatu sampai selesai.


Balèë (balai)

“Balèë” atau balai ada pada setiap rumah adat tradisional. Bentuknya sama dengan bentuk rumah adat, tetapi dalam ukuran yang lebih kecil yaitu 3 x 5 meter, untuk “balèë gadéng” dan 4 x 6 meter untuk “Balèë meuuköm”. Tingginya rata-rata 1 ½ meter. Balai tersebut membujur dari Utara ke Selatan berlawanan dengan rumah yang besar.
Pintu dan tangga menghadap pada rumah adat dan mempunyai anak tangga 5 (lima) buah. Lantainya rata tidak bertingkat seperti rumah adat. Pada balai dindingnya tidak tinggi hanya berkisar antara 50 sampai 60 cm. Guna dinding disini ialah untuk bersandar diwaktu duduk dan memudahkan agar angin dapat berembus dengan leluasa. Tiang balèë terdiri dari enam buah kecuali balèë gadéng ditambah tiang penyangga ditengah-tengah sebanyak tiga  buah. Pada tiang bagian bawah maupun bagian atas kita dapati ukiran-ukiran. Ukiran-ukiran lainnya kita dapati pada tangga, larak, kindang, bara, tolak angin dan les plang.

Pada rumah adat tradisional para bangsawan seperti panglima, hulu balang terdapat dua buah balèë (balai). Pertama “balèë gadéng” dan kedua “balèë meuuköm”. Balai gading gunanya untuk tempat beristirahat sedang balèë meuuköm gunanya untuk membicarakan maupun membicarakan maupun menyelesaikan masalah-masalah hukum dan peraturan yang berlaku maupun memutuskan suatu perkara.


Balèë Gadéng

Seperti yang telah kami kemukakan diatas bahwa balèë gadéng gunanya untuk beristirahat. Ini disebabkan karena daerah Acèh terletak pada daerah tropis dan umumnya bertempat tinggal ditepi pantai. Pada zaman dahulu orang tidak mempunyai kenderaan pergi dari suatu tempat ke tempat yang lain. Terlebih-lebih datang dari tempat yang jauh dan tentu saja mereka merasa penat dan lelah.

Oleh karena itu fungsi balèë gadéng ialah tempat para tamu yang baru datang. Tamu mula-mula diterima pada balèë tersebut untuk melepaskan lelah sekaligus dapat menikmati hembusan angin dari segala penjuru sehingga dapat mengembalikan kesegaran badan mereka.

Ditempat ini pula para tamu disuguhi sekapur sirih sebagai penghormatan pertama bagi setiap tamu yang baru datang. Dan pada tempat ini pula para tamu dapat manyampaikan maksudnya maupun hanya sekedar berbincang-bincang. Dan pada tempat ini pula para tamu dapat menyampaikan maksud kedatangannya atau hanya sekedar berbincang-bincang. Dan selanjutnya para tamu dapat dipersilahkan naik ke rumah.

Balèë Meu Uköm

“Balèë Meuuköm” adalah balai tempat membincangkan ataupun menyelesaikan masalah-masalah yang menyangkut dengan hukum maupun dengan peraturan-peraturan yang berlaku dalam suatu daerah. Balèë tersebut masih dapat kita lihat pada rumah adat tradisional T.Amat, seorang panglima raja Acèh yang terletak di Kuta Tungköp (kuta = pertahanan) Kecamatan Indrajaya, Kabupaten Pidië.

Balèë Meuuköm khusus untuk tempat para Raja, Hulubalang dan para pemuka agama dalam membicarakan dan menyelesaikan masalah hukum. Para pelanggar hukum dibawa ke balèë meuuköm dan disini pula para pelanggar hukum dijatuhi hukuman.


Letak “Balèë Gadéng” dan “Balèë Meu Uköm

Ballèë Gadéng terletak di depan rumah adat yang lebih kurang sejarak 10 meter, sedangkan Balèë Meu Uköm terletak di sebelah Timur sejajar dengan rumah adat, dengan perhitungan apapun yang dibicarakan di balèë meu uköm tidak kedengaran sampai ke rumah adat.

Sani Ukir yang terdapat pada rumah adat tradisional Acèh

Semua rumah adat tradisional mempunyai ukiran, tapi tidak semua rumah mempunyai ukiran yang sama. Umumnya ahli arsitektur (bangunan) mempunyai keahlian dalam mengukir. Hasil seni ukir sebelum pengaruh Agama Islam tidak kita jumpai data-datanya. Seni Ukir yang dapat kita lihat adalah setelah masuknya pengaruh Agama Islam ke Acèh. Dan beberapa hal tertentu mendapat pembatasan, karena dalam agama Islam adalnya larangan untuk membuat gambar atau patung setiap makhluk yang bernyawa, baik itu hewan atau manusia. Larangan tersebut berdasarkan riwayat-riwayat yang melarang kaum muslim menggambar makhluk bernyawa.

Dari Ibnu, dia berkata, “Rasulullah Saw bersabda, ‘Barangsiapa menggambar suatu gambar dari sesuatu yang bernyawa di dunia, maka dia akan diminta untuk meniupkan ruh kepada gambarnya itu kelak di hari akhir, sedangkan dia tidak kuasa untuk meniupkannya.’” [HR. Bukhari].

Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya diantara manusia yang paling besar siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang menggambar gambar-gambar yang bernyawa.” (lihat Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, bab Tashwiir).

Diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa seorang laki-laki datang kepada Ibnu ‘Abbas, lalu katanya, “Sesungguhnya aku menggambar gambar-gambar ini dan aku menyukainya.” Ibnu ‘Abbas segera berkata kepada orang itu, “Mendekatlah kepadaku”. Lalu, orang itu segera mendekat kepadanya. Selanjutnya, Ibnu ‘Abbas mengulang-ulang perkataannya itu, dan orang itu mendekat kepadanya. Setelah dekat, Ibnu ‘Abbas meletakkan tangannya di atas kepala orang tersebut dan berkata, “Aku beritahukan kepadamu apa yang pernah aku dengar. Aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Setiap orang yang menggambar akan dimasukkan ke neraka, dan dijadikan baginya untuk setiap gambarnya itu nyawa, lalu gambar itu akan menyiksanya di dalam neraka Jahanam.’” Ibnu ‘Abbas berkata lagi, “Bila engkau tetap hendak menggambar, maka gambarlah pohon dan apa yang tidak bernyawa.” [HR. Muslim].

Oleh karena adanya larangan inilah seni pahat, seni patung serta gambar-gambar yang bernyawa tidak dikenal dan tidak berkembang di Acèh umumnya dan Kabupaten Pidië khususnya. Umumnya seni pahat/ukir disusun dalam bentuk gambar bentuk-bentuk geometris seperti segi empat, segi tiga, lingkaran dan lain sebagainya.

Tatah ukiran di Kabupaten Pidië diambil dari motif-motif lingkungan yang ada hubungannya dengan kehidupan mereka seperti kembang, buah-buahan, daun-daunan dan kaligrafi.

Demikian juga motif-motif yang dibuat berdasarkan pengamatan yang mempengaruhi kehidupan mereka dengan alam, seperti buleuën (bulan), awan siön (awan setangkai), puta talóë (putar tali), sisék meuria (sisik buah rumbia) dan sebagainya.

Namun demikian mereka telah mencoba melepaskan diri dalam hal gambar binatang seperti yang dapat kita lihat pada ukiran di Kabupaten Acèh Tengah terdapat lukisan ikan dan naga, sedangkan di Kabupaten Pidië hanya terdapat ukiran naga.

Alat Pengukir

Alat ukiran tradisional pada masa itu sangat sederhana. Alat tersebut terdiri dari gergaji potong, bor tangan, ceukéh (bentuknya seperti pahat lebar dengan tangkai yang bulat diberi bergagang kayu serta matanya dapat diputar-putar). Sedang sebagai pelicin dibuat pisau kecil ujungnya runcing dan bengkok keatas mencuat. Namun demikian mereka telah menunjukkan kemampuan dan ketrampilan yang tinggi disamping memerlukan kesabaran dan ketekunan.
 







Tidak ada komentar:

Posting Komentar