Rumah Adat Tradisional Acèh
Disusun
Oleh: Andi Mulya Sakiman
Di Kabupaten Pidië masih banyak kita jumpai rumah adat tradisional
yang pernah didirikan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam
(1607 – 1636). Antara lain seperti kepunyaan T. Sulaiman seorang Panglima Raja
Acèh yang terletak di Gampóng Kuta Tungkóp
Kecamatan Indrajaya. Setelah T. Sulaiman meninggal, rumah tersebut
diserahkan kepada anaknya T. Ahmad. Kemudian oleh T. Ahmad
rumah tersebut diserahkan pula pada anaknya T. Sulaiman, setelah T. Sulaiman meninggal
kini rumah tersebut diserahkan pada anaknya yang bernama T.M. Manzali yang kini
berumur 30 tahun.
Rumah adat
tradisional yang telah berumur lebih dari 80 tahun terdapat di kampung Puló ië.
Rumah tersebut didirikan oleh Teuku Sama Indra, seorang “Ulèë Balang” atau hulu balang di masa kerajaan Acèh.
Selanjutnya rumah
tradisional yang terdapat di Kampung Peulandök
Teungóh kepunyaan Cut Haji Nain (85 tahun),
rumah tersebut pertama sekali dibuat T. Sulaiman Peulandök kemudian diserahkan pada Teuku Haji Chiek Panglima Nae,
selanjutnya diserahkan kepada T. Sulaiman. Terakhir diserahkan kepada Cut Haji
Nain di kampung Peulandök Teungóh.
Bangunan arsitektur
lain yang terdapat di Pidië yang belum
terdokumenter dengan baik antara lain :
- Mesjid Beuracan, dibangun tahun 1560 di Meureudu.
- Mesjid Kuta Tgk. Chiek Ulim, dibangun tahun 1890 di Ulim Tunóng.
- Mesjid Kuta Batèë, dibangun tahun 1660 di daerah Kruet Meureudu.
- Mesjid Medinah, dibangun tahun 1660 di Kuta Batèë Meureudu.
- Dan rumah Acèh yang didirikan setelah tahun 1900.
Pembangunan
Rumah Adat Tradisional.
Pola perkampungan
tradisional Acèh merupakan bangunan yang
penting karena rumah adat adalah komponen dari unsur fisik yang mencerminkan
kesatuan sakral dan kesatuan sosial. Oleh karena itu bila membangun sebuah
rumah adat harus melalui tata cara dengan pelaksanaan relegius atau magis
relegius.
Demikian juga bentuk
dan ukuran denah sebuah rumah adat harus dibuat menurut ketentuan-ketentuan
arsitektur tradisional. Karena rumah adat merupakan komponen penting dari unsur
fisik yang mencerminkan kesatuan sosial maka pembangunannya dilaksanakan secara
gotong royng.
Rumah adat
tradisional ini dibuat besar karena mempunyai fungsi sosial sebagai tempat
berkomunikasi, bermufakat, tempat mengadakan kenduri, peresmian pernikahan,
hitanan dan sebagainya.
Tiang-tiang
penyangga rumah terbuat dari batang pohon yang utuh, bagus kwalitasnya,
termasuk bagian-bagian yang diberi ornamen tatah. Tata cara pelaksanaan upacara
harus dilakukan secermat-cermatnya. Pemilihan bahan bangunannya, letak dan
arahnya harus dengan tepat.
Di Kabupaten Pidië masih banyak kita jumpai rumah adat, terutama
didaerah-daerah perkampungan yang sampai sekarang masyarakatnya masih
menyenanginya.
Rumah adat masih
dibuat oleh masyarakat dewasa ini, tetapi bentuknya lebih kecil jika
dibandingkan dengan rumah adat yang dibuat pada masa-masa kerajaan Acèh dahulu. Hal tersebut mengingat pemeliharaannya
yang banyak memakan biaya.
Selain dari itu
rumah adat yang didirikan sekarang kurang memperhatikan seni ukir yang artistik
dibandingkan dengan masa-masa yang lalu. Ini disebabkan karena tukang ukir yang
sekarang tidak diturunkan atau diajarkan secara turun temurun sebagai suatu
profesi atau pendidikan. Tapi hanya sekedar meniru sehingga kita lihat makin
lama makin menurun nilai artistiknya.
Bentuk dari rumah
adat tradisional memanjang dari Timur ke Barat. Hal tersebut untuk memudahkan
menentukan arah dimana letak Kiblat.
Bagi tamu yang jauh
tak perlu lagi bertanya mana arah kiblat untuk shalat. Ruangannya terdiri dari lima ruangan. Rumah adat
tradisional mempunyai ukuran 15 x 9 meter. Sedang dapurnya 15 x 4 meter atau 15
x 5 meter. Rumah tersebut terdiri dari lima
ruang. Bagian depan ruangan itu disebut “seuramóë
rinyeun” yang biasa diucapkan “ramóë ranyeun”
artinya serambi tangga (ramóë = serambi,
ranyeun = tangga) yang biasa kita sebut sekarang serambi depan. Bagian tengah
disebut “ramóë inóng”
artinya “serambi perempuan” (inóng =
perempuan). Sedangkan ruang bagian belakang disebut “ramóë kót” singkatan dari kata “ramóë likót” (likót = belakang).
Tinggi rumah adat
tradisional dari tanah sampai pada lantai serambi depan dan serambi belakang
adalah 2,50 meter, sedangkan tinggi ramóë inóng atau serambi tengah dari tanah adalah 3 meter.
Bentuk rumah
tradisional Acèh mencerminkan ciri khas seni
bangunan (arsitektur) daerah. Ia dibangun di atas sejumlah tiang-tiang berjajar
membujur lurus rata dari Timur ke Barat. Ditengah-tengah tegak “tamèh raja” (tiang raja) dan “tamèh putróë” (tiang
putri). Jumlah tiang tidak termasuk dapur sejumlah 24 tiang. Tiang tersebut
berbentuk bulat dengan garis tengah 30 cm. Untuk meletakkan
bantalan tiang tersebut dipahat pada arah yang membujur, dan arah yang
melintang. Bantalan yang membujur disebut “töi”
sedang bantalan yang melintang disebut “neurók”.
Töi dan neurók
tadi diberi berbaji agar rumah tersebut berdiri dengan kokoh dan kuat. Kayu
bantalan yang melintang letaknya dibawah bantalan yang membujur. Diatas
bantalan yang melintang dijajarkan pula alas lantai yang disebut “lhue”. Lhue
ini mempunyai jumlah yang
tertentu pada setiap rumah.
Pada beranda depan (ramóë ranyeun)
sebanyak 9 buah, pada beranda perempuan (ramóë inóng) sebanyak
9 buah pula. Lantainya terbuat dari pohon nibung, sebangsa pohon enau yang berbatang
tinggi. Pohon nibung itu dibelah selebar dua jari kemudian diikatkan bersusun
pada lhue tadi dengan ijuk yang dipintal rapi. Pada sekeliling rumah terdapat
dua buah papan yang tebal dan lebar untuk menutupi neurók,
töi dan lhue. Papan yang paling bawah disebut
“larak” dan diatasnya disebut “kindang”. Pada larak dan kindang inilah kita
dapat bermacam-macam motif ukiran.
Ukiran-ukiran
pada kindang
↳ gamba naga bungóng
jeumpa bungóng meulu
Ukiran-ukiran pada larak:
Ukiran-ukiran pada larak:
Diatas tiang terdapat bara setebal 15 cm dan lebar 30 cm. Dari tulang bubungan sampai keatas bara diletakkan “gaseuë” atau kasau dari kayu yang bulat lurus yang dikupas kulitnya yang dipilih dari kayu tahan lama dan tidak dimakan bubuk. Dibawah kasau terdapat “geuneulöng” yaitu kayu bulat sejajar dengan bara, gunanya untuk mengikat kasau agar kasaunya menjadi sejajar. Pada ujung kasau bagian bawah terdapat les plang dipasang miring kedalam yang disebut “neuduek gaseuë”. Sedang pada ujung rumah sebelah Barat dan Timur terdapat les plang sebagai penahan atap dari terpaan angin disebut “penimpi”. Neuduekgaseu maupun penimpi juga mempunyai ukiran-ukiran sederhana, jika dibandingkan dengan ukiran-ukiran lainnya.
Dari neuduek gaseuë sampai kepuncak bubungan diantara selang-selang
kasau itu terbentang tali ijuk disebut “talóëbawa”
yang berlipat dua sehingga kedua ujungnya dipersatukan pada ujung sebelah bawah
yang disimpul sangat kuat dan dibentuk seperti sebuah sanggul bernama “bruek
geutheun”. Pada tali ijuk ini diikat atap rumah tersebut. Ikatan ijuk tersebut
gunanya ialah apabila terjadi kebakaran maka simpul ijuk yang terbentuk sanggul
ini sajalah yang dipotong sehingga atap tersebut turun dan jatuh kebawah secara
serentak. Telah sebegitu jauh pemikiran mereka mendirikan sebuah rumah, untuk
menghindari dari kebakaran. Pada ujung Timur dan Barat sejajar dengan kuda-kuda
letaknya agak keluar terdapat “tulak angèn”
(tolak angin). Tolak angin ini keseluruhannya penuh dengan ukiran-ukiran
malahan ada kita jumpai kaligrafi huruf Arab yang diambil dari ayat-ayat
Al-Qur’annul Karim. Dari ujung bawah cucuran atap (neuduek gaseuë) sampai ke bara dibuat “sandéng” sebagai bagasi untuk menyimpan dan meletakkan
barang-barang, seperti tikar dan bantal.
Tulak Angèn (Tolak Angin)
Dinding rumah
terbuat dari papan yang letaknya berdiri yang berbentuk petak-petak yang
berbingkai pada setiap jarak setengah meter.
Bentuk
dinding ruang bagian dalam, papan dinding dipasang berdiri dengan ukuran yang
sama, sedang pada ujung-pangkalnya terukir berbagai bentuk.
Di bagian sebelah
Barat maupun sebelah Timur jendela masing-masing tiga buah yaitu pada
masing-masing serambi. Pada kisi-kisi dan bingkai jendela juga terdapat ukiran
apakah ia diambil dari motif alam sekitar maupun kaligrafi huruf Arab.
Sebuah kaligrafi huruf Arab pada daun jendela Rumah Adat
Tradisional Aceh, sebagai pengaruh Kebudayaan
Islam
Pintu depan terdapat
di ruangan tengah dari rumah itu yaitu pada ruang ketiga. Pada pintu juga kita
dapati ukiran yang artistik yang disebut “pintö
Acèh” (pintu Acèh).
Motif pintu ini banyak kita lihat pada motif-motif perhiasan emas dan perak seperti
kalung, cincin, anting-anting dan sebagainya. Ada juga motif-motif pintu ini
yang bermotif bunga dan kaligrafi.
Ukiran tiang atap tangga Ukiran tiang atap tangga
bagian bawah bagian atas
Kamar hanya dibuat
pada ramóë inóng
atau serambi perempuan sebanyak dua buah, sebuah pada ujung sebelah Barat dan
sebuah lagi pada ujung sebelah Timur.
Pada kebiasaan adat
disini rumah ditinggali oleh anak perempuan. Anak perempuan yang tertua setelah
kawin diberi rumah sebelah Barat sedang yang bungsu diberikan di bagian sebelah
Timur.
Salah
satu ukiran yang terdapat pada peulangan
Dinding ramóë
inóng terbuat dari papan, tapi ada juga yang
di anyam dari jenis buluh seperti tepas dengan memberi tulang dari buluh pada
setiap jarak sekepal tangan (+ 10 cm) dengan arah melintang dan membujur
merupakan persegi panjang. Tulang-tulang tersebut dijahitkan dengan tali ijuk
yang dipintal kecil, dengan silang menyilang dengan bentuk bermacam-macam motif
seakan disulam layaknya.
Bentuk-bentuk
lubang angin pada seuramóë ranyeun
(serambi depan) ataupun Ramóë liköt (serambi
belakang):
Atapnya terbuat
dari “ön
meuria” atau daun rumbia yang disemat dengan rotan yang dibelah kecil-kecil.
Tulang atapnya terbuat dari batang
pinang atau bambu yang dibelah-belah sepanjang empat hasta (+ 2 meter).
Daun rumbia tersebut dijahitkan pada bilah bambu maupun pinang tadi, kemudian
dijemur sampai kering. Mengatapi rumah disebu “seumeudap”. Atap rumah adat
tradisional sangat rapat. Atap tersebut disusun berjarak hanya dua jari
sehingga susunan atap tersebut sangat tebal. Diharapkan oleh mereka, sekali
menaikkan atap dapat tahan 25 sampai 35 tahun.
Mencari
Bahan Rumah
Kayu perlengkapan
bahan-bahan kebutuhan rumah dicari dan diusahakan jenis kayu yang tertentu
didalam hutan belantara yang diperkirakan umur kayu tersebut telah cukup tua,
lurus serta harus berdiri tegak. Menebang kayupun harus ditentukan waktunya tak
boleh pada waktu air pasang. Jika hal tersebut terjadi maka kayu tersebut kelak
akan dimakan bubuk. Oleh karena itu setiap penebang kayu harus mengetahui
perjalanan bulan. Dengan demikian ia mengetahui kapan air laut pasang naik,
maupun pasang surut.
Kayu peralatan
pembuatan rumah ditarah sesuai dengan keperluan ditempat dimana kayu itu
ditebang. Setelah lengkap maka diadakan upacara gotong royong menarik serta
mengangkat bahan rumah tersebut, dengan mengadakan kenduri sekedarnya.
Demikianlah dilaksanakan beberapa hari sehingga selesai semua bahan-bahan
perumahan terangkat dan terkumpul.
Setelah terkumpul
maka bahan perumahan tersebut dibersihkan serta disesuaikan segala bentuk
maupun besar sesuai dengan yang diinginkan. Bagian-bagian yang diukir seperti
dinding yang menutup bantalan, tangga, tolak angin dan sebagainya diselesaikan
kemudian.
Upacara
Mendirikan Rumah
Seperti yang telah
diuraikan sebelumnya yang bahwa mendirikan rumah adat tradisional mempunnyai
tata cara dengan melaksanakan serangkaian upacara relegius dan sedikit magis
relegius. Pertama ialah dengan mengadakan kenduri doa selamat kepada Allah SWT,
dijauhkan bala yang akan menimpa dan diberikan keselamatan. Dan dengan kenduri
ini sekaligus agar tidak mendapat gangguan dari orang halus yang pernah tinggal
ditempat tersebut sebelumnya. Untuk hal ini dipanggil sanak famili dan tetangga
beserta semua kerabat dalam perkampungan dengan menyajikan sedikit kenduri
selamatan seperti ketan kuning kue dan minuman sedikit seperti kopi dan teh.
Sebelum menghidangkan kenduri terlebih dahulu berdoa bersama-sama dengan
dipimpin oleh seorang Teungku (Ulama).
Kedua melanjutkan
dengan acara tepung tawar (peusijuek). Peusijuek dimaksud agar rumah yang akan
ditinggali nanti terasa dingin dan nyaman. Alat peusijuek ini terdiri dari daun
sidingin (ön sinijuek), sejenis rumput yang
berbentuk daun pisang yang mempunyai bunga diujungnya bercabang yang disebut
“naleuëng sambö”
dan anak pisang yang kecil. Kesemua ini dimasukkan kedalam sebuah bejana yang
berisi air beras. Air inilah yang dititikkan atau dipercikkan pada kaki-kaki
tiang yang akan didirikan. Dalam acara peusijuek ini juga dilanjutkan dengan
menyiramkan beras padi pada tiang-tiang dan pada tempat-tempat rumah yang akan
dibangun.
Ketiga ialah dengan
menanamkan sebuah periuk tanah atau kanót yang
diisi dengan emas seberat setengah mayam atau semayam, perak, kunyit, beras
padi. Periuk ini beserta isinya akan ditanam dibawah “tamèh putróë” atau
tiang putri yang terletak ditengah, disebelah kiri “tamèh
raja” atau tiang raja.
Setelah selesai
acara demi acara barulah dilaksanakan mendirikan tiang-tiang satu persatu
sampai selesai.
Balèë (balai)
“Balèë” atau balai ada pada setiap rumah adat
tradisional. Bentuknya sama dengan bentuk rumah adat, tetapi dalam ukuran yang
lebih kecil yaitu 3 x 5 meter, untuk “balèë
gadéng” dan 4 x 6 meter untuk “Balèë meuuköm”.
Tingginya rata-rata 1 ½ meter. Balai tersebut membujur dari Utara ke Selatan
berlawanan dengan rumah yang besar.
Pintu dan tangga
menghadap pada rumah adat dan mempunyai anak tangga 5 (lima) buah. Lantainya rata tidak bertingkat
seperti rumah adat. Pada balai dindingnya tidak tinggi hanya berkisar antara 50
sampai 60 cm. Guna dinding disini ialah untuk bersandar diwaktu duduk dan
memudahkan agar angin dapat berembus dengan leluasa. Tiang balèë terdiri dari enam buah kecuali balèë gadéng ditambah
tiang penyangga ditengah-tengah sebanyak tiga
buah. Pada tiang bagian bawah maupun bagian atas kita dapati
ukiran-ukiran. Ukiran-ukiran lainnya kita dapati pada tangga, larak, kindang,
bara, tolak angin dan les plang.
Pada rumah adat
tradisional para bangsawan seperti panglima, hulu balang terdapat dua buah balèë (balai). Pertama “balèë
gadéng” dan kedua “balèë
meuuköm”. Balai gading gunanya untuk tempat
beristirahat sedang balèë meuuköm gunanya untuk membicarakan maupun membicarakan
maupun menyelesaikan masalah-masalah hukum dan peraturan yang berlaku maupun
memutuskan suatu perkara.
Balèë Gadéng
Seperti yang telah
kami kemukakan diatas bahwa balèë gadéng gunanya untuk beristirahat. Ini disebabkan
karena daerah Acèh terletak pada daerah tropis
dan umumnya bertempat tinggal ditepi pantai. Pada zaman dahulu orang tidak
mempunyai kenderaan pergi dari suatu tempat ke tempat yang lain. Terlebih-lebih
datang dari tempat yang jauh dan tentu saja mereka merasa penat dan lelah.
Oleh karena itu
fungsi balèë gadéng
ialah tempat para tamu yang baru datang. Tamu mula-mula diterima pada balèë tersebut untuk melepaskan lelah sekaligus dapat
menikmati hembusan angin dari segala penjuru sehingga dapat mengembalikan
kesegaran badan mereka.
Ditempat ini pula
para tamu disuguhi sekapur sirih sebagai penghormatan pertama bagi setiap tamu
yang baru datang. Dan pada tempat ini pula para tamu dapat manyampaikan
maksudnya maupun hanya sekedar berbincang-bincang. Dan pada tempat ini pula
para tamu dapat menyampaikan maksud kedatangannya atau hanya sekedar
berbincang-bincang. Dan selanjutnya para tamu dapat dipersilahkan naik ke
rumah.
Balèë Meu Uköm
“Balèë Meuuköm” adalah
balai tempat membincangkan ataupun menyelesaikan masalah-masalah yang
menyangkut dengan hukum maupun dengan peraturan-peraturan yang berlaku dalam
suatu daerah. Balèë tersebut masih dapat kita
lihat pada rumah adat tradisional T.Amat, seorang panglima raja Acèh yang terletak di Kuta Tungköp (kuta = pertahanan) Kecamatan Indrajaya,
Kabupaten Pidië.
Balèë Meuuköm khusus
untuk tempat para Raja, Hulubalang dan para pemuka agama dalam membicarakan dan
menyelesaikan masalah hukum. Para pelanggar
hukum dibawa ke balèë meuuköm dan disini pula para pelanggar hukum dijatuhi
hukuman.
Letak “Balèë Gadéng”
dan “Balèë
Meu Uköm
Ballèë Gadéng terletak
di depan rumah adat yang lebih kurang sejarak 10 meter, sedangkan Balèë Meu Uköm terletak
di sebelah Timur sejajar dengan rumah adat, dengan perhitungan apapun yang
dibicarakan di balèë meu uköm tidak kedengaran sampai ke rumah adat.
Sani Ukir yang
terdapat pada rumah adat tradisional Acèh
Semua rumah adat
tradisional mempunyai ukiran, tapi tidak semua rumah mempunyai ukiran yang sama.
Umumnya ahli arsitektur (bangunan) mempunyai keahlian dalam mengukir. Hasil
seni ukir sebelum pengaruh Agama Islam tidak kita jumpai data-datanya. Seni
Ukir yang dapat kita lihat adalah setelah masuknya pengaruh Agama Islam ke Acèh. Dan beberapa hal tertentu mendapat pembatasan,
karena dalam agama Islam adalnya larangan untuk membuat gambar atau patung setiap
makhluk yang bernyawa, baik itu hewan atau manusia. Larangan tersebut
berdasarkan riwayat-riwayat yang melarang kaum muslim menggambar makhluk
bernyawa.
Dari Ibnu, dia
berkata, “Rasulullah Saw bersabda, ‘Barangsiapa
menggambar suatu gambar dari sesuatu yang bernyawa di dunia, maka dia akan
diminta untuk meniupkan ruh kepada gambarnya itu kelak di hari akhir, sedangkan
dia tidak kuasa untuk meniupkannya.’” [HR. Bukhari].
Rasulullah Saw
bersabda, “Sesungguhnya
diantara manusia yang paling besar siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang
yang menggambar gambar-gambar yang bernyawa.” (lihat Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah,
bab Tashwiir).
Diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa
seorang laki-laki datang kepada Ibnu ‘Abbas, lalu katanya, “Sesungguhnya aku menggambar
gambar-gambar ini dan aku menyukainya.” Ibnu ‘Abbas segera berkata
kepada orang itu, “Mendekatlah
kepadaku”. Lalu, orang itu segera mendekat kepadanya. Selanjutnya,
Ibnu ‘Abbas mengulang-ulang perkataannya itu, dan orang itu mendekat kepadanya.
Setelah dekat, Ibnu ‘Abbas meletakkan tangannya di atas kepala orang tersebut
dan berkata, “Aku
beritahukan kepadamu apa yang pernah aku dengar. Aku pernah mendengar Rasulullah
Saw bersabda, ‘Setiap orang yang menggambar akan dimasukkan ke neraka, dan
dijadikan baginya untuk setiap gambarnya itu nyawa, lalu gambar itu akan
menyiksanya di dalam neraka Jahanam.’” Ibnu ‘Abbas berkata lagi, “Bila engkau tetap hendak
menggambar, maka gambarlah pohon dan apa yang tidak bernyawa.” [HR. Muslim].
Oleh karena adanya
larangan inilah seni pahat, seni patung serta gambar-gambar yang bernyawa tidak
dikenal dan tidak berkembang di Acèh umumnya
dan Kabupaten Pidië khususnya. Umumnya seni
pahat/ukir disusun dalam bentuk gambar bentuk-bentuk geometris seperti segi
empat, segi tiga, lingkaran dan lain sebagainya.
Tatah ukiran di
Kabupaten Pidië diambil dari motif-motif
lingkungan yang ada hubungannya dengan kehidupan mereka seperti kembang, buah-buahan,
daun-daunan dan kaligrafi.
Demikian juga
motif-motif yang dibuat berdasarkan pengamatan yang mempengaruhi kehidupan
mereka dengan alam, seperti buleuën (bulan),
awan siön (awan setangkai), puta talóë (putar tali), sisék
meuria (sisik buah rumbia) dan sebagainya.
Namun demikian
mereka telah mencoba melepaskan diri dalam hal gambar binatang seperti yang
dapat kita lihat pada ukiran di Kabupaten Acèh
Tengah terdapat lukisan ikan dan naga, sedangkan di Kabupaten Pidië hanya terdapat ukiran naga.
Alat
Pengukir
Alat ukiran
tradisional pada masa itu sangat sederhana. Alat tersebut terdiri dari gergaji
potong, bor tangan, ceukéh (bentuknya seperti pahat lebar dengan tangkai
yang bulat diberi bergagang kayu serta matanya dapat diputar-putar). Sedang sebagai
pelicin dibuat pisau kecil ujungnya runcing dan bengkok keatas mencuat. Namun
demikian mereka telah menunjukkan kemampuan dan ketrampilan yang tinggi
disamping memerlukan kesabaran dan ketekunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar