Rèncong sebagai benda pusaka yang bernilai dalam masyarakat Acèh adalah suatu senjata tajam yang dipergunakan oleh seluruh masyarakat Acèh yang berdomisili di Provinsi Acèh, maupun orang-orang Acèh yang sudah merantau ke daerah lain di Indonesia maupun ke Luar Negeri.
Rèncong mempunyai tiga fungsi dalam penggunaan sehari-hari bagi masyarakat Acèh sejak dahulu sampai pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia.
Pertama, Rèncong digunakan sebagai alat senjata sejak Acèh mulai berkembang menjadi daerah kerajaan, menghadapi berbagai keangkara-murkaan dan tantangan dari penyerbu-penyerbu luar Acèh. Penggunaan Rèncong sebagai alat senjata yang peling ampuh, dimulai ketika Belanda mulai menyerbu Kerajaan Acèh. Namun demikian Rèncong sudah digunakan sebagai alat senjata perang sejak jaya-jayanya Portugis di kawasan Asia Tenggara. Berarti Rèncong sudah lama digunakan jauh sebelum agresi Belanda terhadap kerajaan Acèh ada abad ke 19. Suatu dugaan pula bahwa Rèncong sudah dikenal orang pada permulaan abad ke 13, dimana pada periode tersebut sudah berkembang kerajaan Islam Samudera Pasèë, selaku kerajaan Islam pertama di kawasan Asia Tenggara.
Kedua, Rèncong digunakan sebagai alat perhiasan sehari-hari oleh pria-pria Acèh dalam gerak kehidupannya. Sebagai alat perhiasan sehari-hari, dia disisipkan di pinggang
dan juga Rèncong itu digunakan sebagai salah satu dari serangkaian alat-alat keenian terutama dalam tari Seudati dan Ratöh.
Tiap-tiap penari Seudati yang berjumlah 8 (delapan) orang menggunakan sebilah Rèncong di pinggang yang diatasnya diikat dengan kain selendang wanita yang berwarna merah atau hijau agar tampak lenih menarik. Pada saat-saat tertentu walaupun Rèncong berfungsi sebagai alat perhiasan dalam kehidupan, namun digunakan juga sebagai alat mempertahankan diri, bila ada serangan mandadak dari seorang yang bermaksud jahat.
Ketiga, Rèncong digunakan sebagai alat perkakas pengganti alat-alat pelobang. Rèncong sering digunakan untuk melobangi pelepah rumbia pada bagian-bagian tertentu untuk dijadikan dinding rumah, pengganti papan.
Sebagai mana diketahui rumah-rumah orang Acèh pada masa pra kemerdekaan Indonesia, umumnya menggunakan pelepah rumbia yang sudah kering untuk dinding rumah dan Rèncong memegang peranan penting dalam memadukan pelepah rumbia itu. Malahan sampai periode kemerdekaan Indonesia tampak masih banyak rumah-rumah Acèh mempergunakan pelepah rumbia sebagai dinding rumah terutama di pedesaan.
Karena ada Rèncong tertentu dianggap sebagai barang bernilai magis religius dalam pendangan masyarakat Acèh, maka Rèncong sama sekali tidak digunakan sebagai alat pemotong atau pengupas. Dia dipakai apabila amat diperlukan, misalnya jika menghadapi musuh. Pada dasarnya setiap masyarakat Acèh memiliki sebilah Rèncong sebagai senjata yang mendampingi hidupnya, sejak mereka berumur 18 tahun, walaupun Rèncong itu tidak dibawa serta atau diselipkan dipinggangnya.
Pada periode imperialisme Belanda dan Jepang di Indonesia, Rèncong tetap dipersiapkan dan disimpan secara baik dirumah tangga masing-masing. Karena dalam perhitungan orang Acèh apabila kerajaan dapat dikalahkan oleh imperialisme Belanda, tentu semua rakyat Acèh tidak akan berpangku tangan dan akan mempergunakan kembali Rèncong yang telah disiagakan untuk melawan Belanda sebagai senjata perang, disamping juga tombak dan kelewang. Hal ini terbukti dalam perang Acèh melawan Belanda sejak tahun 1873, karena itu rakyat Acèh menganggap bahwa Rèncong itu merupakan senjata sakti, sehingga daerah Acèh dijuluki pula dengan "Tanah Rèncong".
Pada masa perang kemerdekaan (1945 - 1950), Rèncong kembali berperan dalam perang menghadapi Belanda di Front Medan Area dimasa rakyat Acèh memasuki rusuk pertahanan Belanda sampai ke Sungai Sikambing, setelah melalui Tanjung Pura dan Binjai. Namun pada waktu itu para Mujahidin dari Aceh juga menggunakan senjata-senjata peninggalan serdadu Jepang, tetapi Rèncong tidak pernah diabaikan dalam penggunaannya sebagai senjata penikam musuh atau senjata bela diri. Oleh karena itu Rèncong masih sangat bernilai dan bermutu di dalam masyarakat Acèh hingga periode teknologi sekarang ini.
Mengenai sejarah timbulnya akal manusia dalam menciptakan senjata Rèncong ini dapat ditinjau dari dua segi :
Pertama:
Sejak sebelum zaman Islam orang Acèh sudah menggunakan berbagai peralatan dalam penghidupan sosial budaya masyarakat. Adapun berbagai macam bentuk alat-alat atau perkakas itu antara lain seperti alat perang, kampak, pisau dan sebagainya. Sudah barang tentu ssdalm penciptaannya berbagai macam alat yang dibutuhkan tersebut mempunyai cara pembuatannya masing-masing , sebagai tampak pada kampak genggam zaman batu tua (Paleolithikum) menjadi kampak licin atau diasah dengan baik sehingga tajam, merupakan hasil ciptaan manusia dlam pembuatan alat-alat pada zaman batu baru (Neolithikum).
Demikian juga yang terjadi pada alat-alat pemotong seperti parang. Tentu saja pada mulanya berbentuk kasar, lama kelamaan berbentuk licin dan halus. Hal ini merupakan tugas dari pandai-pandai besi, yang di Acèh dikenal dengan sebutan Pandé Busóë. Pandé Busóë itu umumnya menciptakan alat-alat pemotong yang praktis untuk rumah tangga yaitu pisau yang pada mulanya berbentuk kasar kemudian secara perlahan-lahan mencapai kesempurnaannya.
Kedua:
Rèncong dilihat sebagai senjata perang. Alat-alat ini pada mulanya berasal dari pisau yang digunakan secara praktis kemudian dikembangkan untuk penggunaannya yang bersifat magis religius setelah dibentuk sedemikian rupa, sehingga menjadi senjata perang. Dia diciptakan oleh Pandé Busóë yang ahli. disamping Pandé Busóë berkeahlian menciptakan bentuk yang indah, dia juga harus dapat menciptakan bentuk yang dapat membahayakan musuh, kalau digunakan untuk menikam.
Sebagaimana tiap naluri manusia menginginkan alat perkakas pribadi , demikian juga bahwa alat yang seperti Rèncong diciptakan orang Acèh sebelum masuknya agama Islam ke Indonesia. Untuk selanjutnya demikian pula bahwa Rèncong secara evolusi mencapai kesempurnaannya mulai sejak masuknya Islam ke Indonesia. Dengan perkataan lain bahwa Rèncong itu mulai dikenal sejak berdirinya kerajaan Islam yang bernama Pasèë.
Sejak Pasèë tumbuh dan berkembang menjadi suatu kerajaan besar Islam dibagian Utara pulau Sumatera, dia memerlukan pola strategi pertahanan yang kuat, sesuai dengan letaknya di jalur perdagangan laut International yang mulai berkembang pula antara Timur dan Barat yakni antara jalur perdagangan antara Timur Tengah dan Asia Timur pada abad ke 13.
Sehubungan dengan pola strategi pertahanan tersebut, dia memerlukan anggota kekuatan militer yang tentunya dibarengi dengan persenjataan-persenjataan dan peralatan perang yang cukup memadai. Alat senjata yang digunakan itu termasuk diantaranya senjata Rèncong. Penggunaan Rèncong sebagai alat senjata perang melawan Portugis (menurut para ahli sejarah) mulai dipakai untuk pertama kalinya ketika Sultan Ali Muqhayat-Syah memerintah kerajaan Acèh pada tahun 1514 - 1528.
Senjata Rèncong mulai menemui bentuk yang sebenarnya pada waktu itu sebagaimana yang kita kenal sekarang, yang kelihatannya lebih berorientasi pada kepercayaan Islam sebagai agama yang amat berpengaruh dalam penghidupan sosial budaya masyarakat Acèh.
Oleh karena itu Rèncong secara keseluruhan dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Gagang , yang melengkung kemudian menebal pada bahagian sikunya merupakan
aksara Arab BA = ب ( ﺑ )- Bujuran, bujuran gagang tempat genggaman merupakan aksara SIN = ( ﺲ ) س
- Bentuk-bentuk lancip yang menurun kebawah pada pangkal besi dengan gagangnya
merupakan aksara MIM = ﻣ ( ﻤ )
- Lajur-lajur besi dari pangkal gagang hingga dekat ujungnya merupakan aksara LAM
= ﻠ ﻟ
- Ujung-ujung yang runcing dengan datar sebelah atas mendatar dan bahagian bawah
yang sedikit melekuk keatas merupakan aksara HA = ) ھ )
Rangkaian dari aksara BA, MIM, LAM, dan HA itu mewujudkan kalimah "BISMILLAH"
= بسم الله
Jadi jelas bahwa Rèncong merupakan reaksi dan perwujudan dari kalimah
"BISMILLAH" dalam bentuk senjata tajam sebagai alat perang untuk mempertahankan pemeluk agama Islam dari rongrongan orang-orang yang anti Islam.
Rincöng Meupucök
Gagang dan sarung seluruhnya dilapisi emas
Pada masa pemerintahan Sultan Ali Muqhayat Syah dan pengganti beliau Rèncong telah digunakan sebagai senjata perang. Waktu itu tempat-tempat penempaan terdapat di seluruh Acèh. Tempat-tempat tersebut antaranya di kampung Pandè, Lam Blang, Sibrèh, Ulèë Karéng, Lampakuk di Acèh Besar. Peukan Pidië, Kampung Arèë, Unóë di Pidië. Matang Gleulumpang Dua, Geudöng, Lhök Seukön, Pantóën Labu di Aceh Utara, Peeureulak, Idi, Simpang Ulim dan Manyak Payet di Aceh Timur.
Sedangkan dibagian Acèh lainnya terdapat tempat-tempat penempaan Rèncong seperti di Blang Pidië, Meulaböh dan Calang. Pandé-pandé (dapur tempat menempa Rèncong) kelihatannya hampir terdapat di seluruh Acèh dan hal ini yang menunjukkan betapa besarnya peranan Rèncong dalam kehidupan sosial budaya dalam masyarakat Acèh terutama sebagai senjata untuk mempertahankan diri.
Macam-Macam Rèncong.
Rèncong sebagai alat senjata maupun sebagai alat perhiasan dalam kehidupan masyarakat Acèh, makin lama makin memperoleh kesempurnaan dalam mutu penempaannya. Sebagai alat senjata yang khas Acèh, mata Rèncong tidak pernah berobah bentuk, karena bentuk mata itu mencerminkan kalimah Bismillah sebagai kalam pertama untuk memulai sesuatu pekerjaan di kalangan masyarakat Islam.
Adanya bermacam-macam Rèncong bukan terletak pada mata atau bentuk penempaan nya, tetapi tergantung pada gagangnya, atau sumbunya. Hanya dengan melihat sumbunya, mereka yang mengerti Rèncong segera mengetahui macamnya. Oleh karena itu timbullah nama-nama tertentu terhadap Rèncong dikalangan masyarakat pemakainya.
1. Rincöng pada umumnya.
Secara keseluruhan ada satu nama terhadap alat senjata ataupun alat perhiasan bagi masyarakat Pria Acèh yaitu Rèncong yang dalam bahasa Acèh disebut Reuncöng atau Rincöng. Umumnya nama tersebut mencakup seluruh bentuk ulèë rincöng (hulu = gagang Rèncong) yang ada di dalam masyarakat Acèh. Kalau kita ingin mengetahui macam-macam Rèncong yang sebenarnya, perhatian kita harus dicurahkan pada bentuk gagangnya. Dari nama Rèncong yang bersifat umum itu, kemudian barulah kita dapat menentukan nama Rèncong yang sebenarnya. Artinya nama-nama yang diberikan untuk Rèncong pada umumnya adalah berkisar ada bentuk gagangnya. Orang luar hanya mengenal bahwa di daerah Acèh ada satu senjata tajam yang dinamakan Rincöng (Rèncong) atau dengan kata lain dsebut dengan Rincöng Acèh (Rèncong Aceh).
2. Rincöng Meupucök.
Rincöng Meupucök merupakan Rèncong yang mempergunakan uliran emas pada gagangnya bagian atas. Gagang Rincöng Meupucök kelihatan kecil pada bagian bawah, hingga mengembang besar pada bahagian atasnya. Bahagian bawah yang membungkus puting matanya berbentuk kecil dan terus membesar pada bagian atasnya. Permukaan gagang bagian atasnya ini diberi berukiran emas Aceh (emas 18 karat)
RIncöng Meupucök Ulah
Gagang dilapisi emas seluruhnya sedangkan sarungnya ada yang dibuat dari kayu dan ada pula yang dibuat dari tanduk
Ukiran pada permukaan gagang bagian atas Rincöng Meupucök bermacam-macam bentuknya. ada yang berbentuk kembang daun, kembang berantai, kembang mawar maupun bentuk-bentuk aksara Arab. Bentuk-bentuk tersebut tidak menunjukkan sesuatu maksud tertentu, tetapi merupakan ukiran-ukiran yang disenangi pemilik/pemesannya. Bagi pemilik yang berasal dari golongan elite maupun hartawan tempo dulu sangat mengutamakan ukiran-ukiran yang dikehendaki dengan penggunaan bahannya yang banyak, apakah yang terdiri dari emas maupun suasa (campuran emas dan tembaga, lebih banyak tembaga dari emas).
Rincöng Meupucök
Gagang dan sarung dibuat dari gading dengan ikatan emas
Disamping itu terdapat pula jenis Rincöng Meupucök Klah (balutan), merupakan salah satu jenis Rèncong yang ujung gagang bagian bawahnya, pembungkus putingnya menggunakan bahan emas atau suasa, sehingga benar-benar indah manarik bila diperhatikan. Kalau dilihat dari segi penggunaan bahan emas atau suasa yang begitu banyaknya, memberi suatu petunjuk kepada kita bahwa Rèncong itu disamping berfungsi sebagai senjata tikam, berfungsi juga sebagai perhiasan pinggang kaum pria pada masyarakat Acèh.
Rincöng Meupucök Klah
Gagang bagian atas dan pangkal dilapisi emas serta ditengah-tengahnya dilapisi suasa, sarungnya dibuat dari kayu.
3. Rincöng Meucugèk
Rincöng Meucugèk adalah Rèncong yang mempergunakan "cugèk" (bergagang lengkung 90⁰). Cugèknya itu melengkung kebagian belakang mata Rèncong kira-kira 8 - 10 cm, sehingga gagang (sumbunya) itu berbentuk siku-siku. Pada sumbunya diberi cugèk untuk mengefektifkan pemakaiannya. Rèncong model ini lebih mengutamakan penggunaannya di dalam medan tempur pada saat-saat terjadi kasus perkelahian antara seorang lawan seorang (satu lawan satu).
Rincöng Meucugèk sudah dipakai sebagai alat tikam serta dipergunakan sejak orang-orang Acèh berperang melawan kolonial. Dengan adanya cugèk dimaksudkan untuk lebih memudahkan seseorang menerkam dan menikam lawan secara bertubi-tubi, dan dengan mudah dicabut kembali walaupun sumbunya dalam keadaan berlumuran darah, karena cugèk berfungsi sebagai alat penahan pergelangan tangan bagian belakang. Bila sebilah Rèncong tidak mempunyai cugèk maka dengan mudah terlepas dari genggaman tangan, karena sumbunya sudah licin kena darah lawan.
Rincöng Meucugèk
Atas = Gagang dan sarungnya terbuat dari gading.
Tengah = Gagang kombinasi antara gading dan tanduk, sarung dari tanduk dengan ikatan besi.
Bawah = Gagang dan sarung dari tanduk dengan ikatan besi.
Cugèk sering pula diartikan dalam bahasa Indonesia dengan lengkungan. Jadi Rèncong Meucugèk adalah Rèncong yang melengkung sumbunya yaitu suatu alat penikam yang paling ampuh dan amat dikenal dalam masyarakat Acèh.
4. Rincöng Meukurèë
Rincöng Meukurèë tidak dititik beratkan pada gagangnya tetapi pada tanda-tandanya yang terdapat pada mata Rèncong. Tanda-tandanya kelihatan bermacam-macam pula terutama dalam bentuk-bentuk gambar tertentu seperti misalnya : bunga, ular, lipan, akar kayu dan daun kayu. Gambar-gambar yang terdapat itu tidak dibuat dengan sengaja oleh pandai besi ketika Rèncong itu ditempa. Tanda-tanda gambar itu sudah ada dengan sendirinya, kemudian oleh pandai-pandai besi diberi nama dengan "kurèë", yang akhirnya Rèncong yang ada tanda gambar (kurèë) pada matanya diberilah nama "Rincöng Meukurèë".
Selanjutnya oleh para pandai besi gambar-gambar kurèë tersebut ditafsirkan dengan bermacam-macam kelebihan atau keistimewaan. Rincöng Meukurèë yang disimpan lebih lama maka kurèënya makin bertambah sehingga nilai keistimewaannya semakin tinggi. Orang yang memiliki Rèncong tersebut bertambah kekuatan magisnya. Pemberian arti terhadap kurèë-kurèë itu terkadang agak dilebih-lebihkan oleh masing-masing sipemberi arti dimana dengan tujuan mengandung nilai-nilai pribadi yang sering menjurus ke negatif. Tujuannya tentu agar orang memandang tinggi, hebat, dll sipandai besi yang menempa Rèncong Meukurèë tersebut. Hal ini seirama dengan kenyataan yang ditunjukkan oleh keris "Empu Gandring".
Karena keris Empu Gandring itu telah dapat membunuh 7 keturunan Raja setelah Empu Gandring dibunuh oleh Ken Angrok, merupakan sejarah mirip dengan maksud untuk melebih-lebihkan diri seorang pandai besi juga seseorang pemilik Rèncong Meukurèë dimaksud. Sifat melebih-lebihkan itu mempunyai maksud-maksud tertentu agar benar-benar senjata itu disantuni baik-baik ataupun dianggap keramat atau bertuah.
5. Rincöng Pudöï.
Pudöï artinya tidak sempurna atau setengah. Bila seekor ayam yang ekornya tidak sempurna tumbuhnya, maka ayam tersebut dikatakan pudöï (ayan yang tidak berekor). Karena itu sebilah Rèncong yang pendek gagangnya dikatakan dengan "Rincöng Pudöï". Menurut penelitian yang pernah dilakukan, Rèncong Pudöï itu mempunyai riwayatnya tersendiri sebagai berikut :"BISMILLAH" dalam bentuk senjata tajam sebagai alat perang untuk mempertahankan pemeluk agama Islam dari rongrongan orang-orang yang anti Islam.
Rincöng Meupucök
Gagang dan sarung seluruhnya dilapisi emas
Pada masa pemerintahan Sultan Ali Muqhayat Syah dan pengganti beliau Rèncong telah digunakan sebagai senjata perang. Waktu itu tempat-tempat penempaan terdapat di seluruh Acèh. Tempat-tempat tersebut antaranya di kampung Pandè, Lam Blang, Sibrèh, Ulèë Karéng, Lampakuk di Acèh Besar. Peukan Pidië, Kampung Arèë, Unóë di Pidië. Matang Gleulumpang Dua, Geudöng, Lhök Seukön, Pantóën Labu di Aceh Utara, Peeureulak, Idi, Simpang Ulim dan Manyak Payet di Aceh Timur.
Sedangkan dibagian Acèh lainnya terdapat tempat-tempat penempaan Rèncong seperti di Blang Pidië, Meulaböh dan Calang. Pandé-pandé (dapur tempat menempa Rèncong) kelihatannya hampir terdapat di seluruh Acèh dan hal ini yang menunjukkan betapa besarnya peranan Rèncong dalam kehidupan sosial budaya dalam masyarakat Acèh terutama sebagai senjata untuk mempertahankan diri.
Macam-Macam Rèncong.
Rèncong sebagai alat senjata maupun sebagai alat perhiasan dalam kehidupan masyarakat Acèh, makin lama makin memperoleh kesempurnaan dalam mutu penempaannya. Sebagai alat senjata yang khas Acèh, mata Rèncong tidak pernah berobah bentuk, karena bentuk mata itu mencerminkan kalimah Bismillah sebagai kalam pertama untuk memulai sesuatu pekerjaan di kalangan masyarakat Islam.
Adanya bermacam-macam Rèncong bukan terletak pada mata atau bentuk penempaan nya, tetapi tergantung pada gagangnya, atau sumbunya. Hanya dengan melihat sumbunya, mereka yang mengerti Rèncong segera mengetahui macamnya. Oleh karena itu timbullah nama-nama tertentu terhadap Rèncong dikalangan masyarakat pemakainya.
1. Rincöng pada umumnya.
Secara keseluruhan ada satu nama terhadap alat senjata ataupun alat perhiasan bagi masyarakat Pria Acèh yaitu Rèncong yang dalam bahasa Acèh disebut Reuncöng atau Rincöng. Umumnya nama tersebut mencakup seluruh bentuk ulèë rincöng (hulu = gagang Rèncong) yang ada di dalam masyarakat Acèh. Kalau kita ingin mengetahui macam-macam Rèncong yang sebenarnya, perhatian kita harus dicurahkan pada bentuk gagangnya. Dari nama Rèncong yang bersifat umum itu, kemudian barulah kita dapat menentukan nama Rèncong yang sebenarnya. Artinya nama-nama yang diberikan untuk Rèncong pada umumnya adalah berkisar ada bentuk gagangnya. Orang luar hanya mengenal bahwa di daerah Acèh ada satu senjata tajam yang dinamakan Rincöng (Rèncong) atau dengan kata lain dsebut dengan Rincöng Acèh (Rèncong Aceh).
2. Rincöng Meupucök.
Rincöng Meupucök merupakan Rèncong yang mempergunakan uliran emas pada gagangnya bagian atas. Gagang Rincöng Meupucök kelihatan kecil pada bagian bawah, hingga mengembang besar pada bahagian atasnya. Bahagian bawah yang membungkus puting matanya berbentuk kecil dan terus membesar pada bagian atasnya. Permukaan gagang bagian atasnya ini diberi berukiran emas Aceh (emas 18 karat)
RIncöng Meupucök Ulah
Gagang dilapisi emas seluruhnya sedangkan sarungnya ada yang dibuat dari kayu dan ada pula yang dibuat dari tanduk
Ukiran pada permukaan gagang bagian atas Rincöng Meupucök bermacam-macam bentuknya. ada yang berbentuk kembang daun, kembang berantai, kembang mawar maupun bentuk-bentuk aksara Arab. Bentuk-bentuk tersebut tidak menunjukkan sesuatu maksud tertentu, tetapi merupakan ukiran-ukiran yang disenangi pemilik/pemesannya. Bagi pemilik yang berasal dari golongan elite maupun hartawan tempo dulu sangat mengutamakan ukiran-ukiran yang dikehendaki dengan penggunaan bahannya yang banyak, apakah yang terdiri dari emas maupun suasa (campuran emas dan tembaga, lebih banyak tembaga dari emas).
Rincöng Meupucök
Gagang dan sarung dibuat dari gading dengan ikatan emas
Disamping itu terdapat pula jenis Rincöng Meupucök Klah (balutan), merupakan salah satu jenis Rèncong yang ujung gagang bagian bawahnya, pembungkus putingnya menggunakan bahan emas atau suasa, sehingga benar-benar indah manarik bila diperhatikan. Kalau dilihat dari segi penggunaan bahan emas atau suasa yang begitu banyaknya, memberi suatu petunjuk kepada kita bahwa Rèncong itu disamping berfungsi sebagai senjata tikam, berfungsi juga sebagai perhiasan pinggang kaum pria pada masyarakat Acèh.
Rincöng Meupucök Klah
Gagang bagian atas dan pangkal dilapisi emas serta ditengah-tengahnya dilapisi suasa, sarungnya dibuat dari kayu.
3. Rincöng Meucugèk
Rincöng Meucugèk adalah Rèncong yang mempergunakan "cugèk" (bergagang lengkung 90⁰). Cugèknya itu melengkung kebagian belakang mata Rèncong kira-kira 8 - 10 cm, sehingga gagang (sumbunya) itu berbentuk siku-siku. Pada sumbunya diberi cugèk untuk mengefektifkan pemakaiannya. Rèncong model ini lebih mengutamakan penggunaannya di dalam medan tempur pada saat-saat terjadi kasus perkelahian antara seorang lawan seorang (satu lawan satu).
Rincöng Meucugèk sudah dipakai sebagai alat tikam serta dipergunakan sejak orang-orang Acèh berperang melawan kolonial. Dengan adanya cugèk dimaksudkan untuk lebih memudahkan seseorang menerkam dan menikam lawan secara bertubi-tubi, dan dengan mudah dicabut kembali walaupun sumbunya dalam keadaan berlumuran darah, karena cugèk berfungsi sebagai alat penahan pergelangan tangan bagian belakang. Bila sebilah Rèncong tidak mempunyai cugèk maka dengan mudah terlepas dari genggaman tangan, karena sumbunya sudah licin kena darah lawan.
Rincöng Meucugèk
Atas = Gagang dan sarungnya terbuat dari gading.
Tengah = Gagang kombinasi antara gading dan tanduk, sarung dari tanduk dengan ikatan besi.
Bawah = Gagang dan sarung dari tanduk dengan ikatan besi.
Cugèk sering pula diartikan dalam bahasa Indonesia dengan lengkungan. Jadi Rèncong Meucugèk adalah Rèncong yang melengkung sumbunya yaitu suatu alat penikam yang paling ampuh dan amat dikenal dalam masyarakat Acèh.
4. Rincöng Meukurèë
Rincöng Meukurèë tidak dititik beratkan pada gagangnya tetapi pada tanda-tandanya yang terdapat pada mata Rèncong. Tanda-tandanya kelihatan bermacam-macam pula terutama dalam bentuk-bentuk gambar tertentu seperti misalnya : bunga, ular, lipan, akar kayu dan daun kayu. Gambar-gambar yang terdapat itu tidak dibuat dengan sengaja oleh pandai besi ketika Rèncong itu ditempa. Tanda-tanda gambar itu sudah ada dengan sendirinya, kemudian oleh pandai-pandai besi diberi nama dengan "kurèë", yang akhirnya Rèncong yang ada tanda gambar (kurèë) pada matanya diberilah nama "Rincöng Meukurèë".
Selanjutnya oleh para pandai besi gambar-gambar kurèë tersebut ditafsirkan dengan bermacam-macam kelebihan atau keistimewaan. Rincöng Meukurèë yang disimpan lebih lama maka kurèënya makin bertambah sehingga nilai keistimewaannya semakin tinggi. Orang yang memiliki Rèncong tersebut bertambah kekuatan magisnya. Pemberian arti terhadap kurèë-kurèë itu terkadang agak dilebih-lebihkan oleh masing-masing sipemberi arti dimana dengan tujuan mengandung nilai-nilai pribadi yang sering menjurus ke negatif. Tujuannya tentu agar orang memandang tinggi, hebat, dll sipandai besi yang menempa Rèncong Meukurèë tersebut. Hal ini seirama dengan kenyataan yang ditunjukkan oleh keris "Empu Gandring".
Karena keris Empu Gandring itu telah dapat membunuh 7 keturunan Raja setelah Empu Gandring dibunuh oleh Ken Angrok, merupakan sejarah mirip dengan maksud untuk melebih-lebihkan diri seorang pandai besi juga seseorang pemilik Rèncong Meukurèë dimaksud. Sifat melebih-lebihkan itu mempunyai maksud-maksud tertentu agar benar-benar senjata itu disantuni baik-baik ataupun dianggap keramat atau bertuah.
5. Rincöng Pudöï.
Setelah selesai perang Acèh sekitar tahun 1904, orang Acèh pada umumnya masih menyelipkan sebilah Rèncong pada pinggangnya di dalam baju (kebanyakan rèncong meucugèk atau rèncong meucangèë). Pemerintah Kolonial Belanda di Acèh, (selama masa pemerintahannya) telah membuat berbagai peraturan, salah satu yang mereka buat yaitu tidak membenarkan orang Acèh memakai rèncong jika bepergian. Rupanya pemerintah Belanda masih meragukan kejujuran orang Acèh, sungguhpun perang boleh dikatakan sudah usai. Hal ini sangat menyakitkan hati orang Acèh. Karna sebagaimana diketahui bahwa rèncong itu adalah teman sehari-hari bagi orang Acèh disamping sebagai senjata membela diri. Orang Acèh menyelipkan rèncong dipinggang sebenarnya bukan bermaksud mengkhianati atau menyakiti orang lain tetapi hanya sebagai alat perhiasan dan pembela diri seaktu-waktu diperlukan. Peraturan pemerintah Kolonial Belanda sangat bertentangan dengan adat-istiadat orang Acèh terutama berkenaan dengan larangan pemakaian rèncong. Oeh karena itu tidak ada alternatif lain selain mengelabui peraturan Belanda yaitu dengan cara merobah bentuk rèncong meucugèk (meucangèë) kebentuk lain yakni "Rincöng Pudöï".
Dengan perobahan bentuk Rèncong tersebut rakyat Acèh tetap memakainya, tanpa diketahui oleh serdadu-serdadu Belanda, kecuali bila alat-alat kekuasaan Kolonial meneliti seluruh badan.
Rèncong Pudöï bila diselipkan di badan selalu ditutupidengan kain sarung atau celana panjang sehingga tidak begitu jelas kelihatan. Peraturan Kolonial yang tidak membolehkan mamakai Rèncong itu sebenarnya tidak digubris sama sekali oleh rakyat Acèh.
Setelah Perang Belanda di Acèh selesai antara tahun 1903 - 1935 secara sangat cepat model rèncong meucugèk (meucangèë) berubah bentuknya menjadi Rèncong Pudöï.
"Rincöng Pudöï"
Atas : Jenis Rincöng Pudöï yang gagangnya dari gading yang sebagian dilapisi perak dengan sarung
dari gading seluruhnya.
Tengah : Jenis Rincöng Pudöï yang gagang dan sarungnya dari tanduk.
Bawah : Jenis Rincöng Pudöï yang gagangnya dari gading dengan sarung dari tanduk.
Sejak zaman Jepang hingga sekarang rèncong meucugèklah yang banyak dipakai dan setelah zaman Kemerdekaan bentuk maupun matanya diperlicin dan diperindah lagi. Masyarakat Acèh saat memakai rèncong tidak semberono atau leluasa menyelipkan dipinggangnya hingga jelas kelihatan oleh umum, enggan juga rasanya demikian. Memang di dalam alam pikiran masyarakat Acèh, seseorang yang menyelipkan rèncong dipinggangnya adalah hal yang biasa dan tidak menjadi persoalan lagi, tetapi mungkin bagi orang luar daerah, menjadi suatu tanda tanya, mengapa rèncong itu diselipkan secara terang-terangan di pinggang.
Karena rèncong memang sudah dikenal di dalam sejarah perang Acèh - Belanda, sebagai senjata sakti orang Acèh, maka bila orang Acèh menyelipkan rèncong dipinggangnya secara terang-terangan beranggapan akan adanya sesuatu yang akan terjadi.
Anggapan tersebut tidaklah benar. sebagaimana telah diuraikan sebelumnya yang bahwa fungsi rèncong juga sebagai alat perhiasan seharian orang Acèh, oleh karena itu jika seandainya apabila pangunjung yang berkunjung atau meninjau ke Acèh, hal itu tidak perlu dicemaskan atau takut apabila nampak seseorang putra Acèh menyelipkan Rèncong dipinggangnya.
Bagian-bagian Rèncong.
1. Hulu Rèncong
Hulu rèncong disebut juga gagang rèncong yaitu tempat genggaman bila pemakainya hendak menggunakan rèncong. Hulu rèncong ( Góö = bahasa Acèh ) sangat diperhatikan oleh sipemakainya terutama dilihat dari segi keindahan dan kekuatannya. Oleh karena itu untuk membuat hulu rèncong, dicari bahan-bahan umumnya dari tanduk, atau dari gading pilihan. Tanduk yang dijadikan untuk hulu rèncong adalah tanduk kerbau atau sapi yang sudah cukup tua umurnya. Sedangkan gading gajah biasanya tdak memerlukan suatu pilihan tertentu karena gading dianggap rata-rata suah cukup sempurna. Kayu jenis apa saja dan bagaimanapun bentuknya tidak akan dijadikan atau dipergunakan untuk hulu rèncong, karena akan mengurangi sifat dan fungsi rèncong itu sendiri. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, yang bahwa rèncong pada orang Acèh dianggap sangat sakti dan mempunyaikekuatan gaib. Oleh karena itu mempergunakan kayu untuk hulu rèncong dapat menjatuhkan martabat sipemakainya dan sekaligus rèncong itu akan berfungsi sama dengan pisau biasa.
Hulu rèncong yang dibuat dari tanduk dapat dilicinkan hingga mengkilap , dan tidak kalah mutunya dengan hulu rèncong yang terbuat dari gading. Bentuk hulu rèncong ada yang bulat dan besar bagian atasnya (rèncong pudóï), ada juga yang melengkung (rèncong meucugéëk)
Tingkatan masyarakat atas (kaum bangsawan) memakai rèncong meupucök, dengan gagang dibungkus oleh perhiasan emas, golongan menengah umumnya memakai rèncong meucugéëk yang gagangnya terbuat dari gading dan terkadang dihiasi dengan perhiasan emas pada sumbunya, sedangkan mayarakat umum atau golongan petani kebanyakan mempergunakan rèncong yang gagangnya terbuat dari tanduk yang sudah diulas licin, sehingga mutunya tidak kalah dengan rèncong yang sumbunya dibuat dari gading atau bergagang pucök yang dibungkus dengan emas.
Dengan demikian dapat kita katakan bahwa kwalitas rèncong sebagai senjata sakti di Acèh dapat digolongkan dalam tiga jenis yakni, Rincöng Meupucök, Rincöng Meucugéëk dan Rincöng Pudöï , yang masing-masing mengandung nilai dan arti tersendiri.
Hulu Rincöng Meupucök
1. Ditutupi dengan ukiran emas bagian atas.
2. Dibungkus dengan emas bagian putingnya.
3. Hulunya dibuat dari tanduk atau gading.
Hulu Rincöng Meucugéëk
1. Lengkungan.
2. Cugéëk (penahan tangan, supaya tidak
mudah terlepas bila gagangnya berlumuran
darah ketika mencabutnya dari sasaran).
3. Bagian genggaman.
4. Bagian putingnya.
Hulu Rincöng Pudöï
1. Pegangan tanpa varias.
2. Klah (pembungkus bagian bawah hulu).
3. Puting yang kadang-kadang agak dibesarkan
sedikit untuk tidak tertutup dengan gagang
yang sederhana itu bila ditancapkan pada
sasaran.
2. Ukiran Rèncong
Yang dimaksud dengan ukiran Rèncong adalah ukiran-ukiran dari emas yang digunakan pada hulu puting dan batang Rèncong. Ukiran Rèncong ini tidak mempunyai persyaratan tertentu terhadap macam jenis ukiran. Artinya sipemilik Rèncong boleh saja memilih bentuk atau macam ukiran yang disukai. Ukiran-ukiran itu nantinya secara terkombinasi yang harmonis akan diperlihatkan pada bagian-bagian Rèncong tertentu menurut kehendak sipemakai.
Sebagaimana dalam senjata keris di Jawa banyak terdapat artii-arti dilihat dari sudut ukiran- ukirannya. Tetapi ukiran-ukiran yang terdapat pada Rèncong biasanya tidak mempunyai arti-arti magis tertentu yang harus ditaati atau dipenuhi.
Ukiran Rèncong menurut pandangan masyarakat Acèh bersumber pada satu kalimah suci yakni : "ASYHADU AN LAA ILAAHA ILLALLAHU, WAASYHADU AN NA MUHAMMAD RASULULLAH"
أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمد رسول الله
Dari sumber yang satu itulah nanti akan timbul ukiran-ukiran yang berbentuk tulisan-tulisan yang diukir indah, sehingga menunjukkan seolah-olah mempunyai gaya seni lukis tersendiri.
Disamping itu terdapat juga ukiran yang berbentuk dedaunan ataupun bentuk bunga, bintang bulan dan matahari. Semua itu tidak mengandung arti magis, legenda, jampi-jampi, sakti, guna-guna dan sebagainya. Teapi semua bertitik tolak pada rasa keindahan sebagai penjelmaan dari kalimah suci "LAA ILA HAILLALLAH" (Tiada Tuhan melainkan Allah).
Ukiran Rèncong pada umumnya dipakai pada sumber Rèncong bagian atas, tengah dan bawah atau kedua bagian sumbu. Selain itu bentuk ukiran digunakan pula pangkal puting dan klah (kelah). Kelah adalah sejenis alat pengikat ataupun pembungkus ujung sumbu bagian bawah, di bagian mana puting Rèncong diterapkan kedalam sumbu Rèncong. Dan kelah ini adalah sebagian penguat bagian tersebut. Alat penguat inilah yang banyak bahannya dipakai dari emas atau suasa yang diukir indah, sehingga wadah Rèncong bertambah indah kelihatannya.
Pada masa akhir-akhir ini Rèncong Acèh yang berukir emas atau suasa mulai berangsur-angsur hilang, karena bentuk tersebut sukar kalau dijual dan hanya dibutuhkan oleh kalangan tertentu. Demikian pula fungsi Rèncong mengalami perubahan pula, nilai-nilai kekuatan gaib yang ada pada Rèncong itu telah bertukar dengan nilai-nilai praktis dan ekonomis.
3. Perut Rèncong
Perut Rèncong adalah bagian Rèncong yang terdapat dibagian tengah mata Rèncong. Perut Rèncong ini dilukiskan sebagai lam ( ﻠ ﻟ dalam aksara Arab (Perut Rèncong merupakan bagian mata Rèncong yang agak lebar dibandingkan dengan pangkal dan ujung Rèncong yang runcing. Mata Rèncong diasah hingga tajam dalam penggunaannya. Bila Rèncong digunakan pada sasarannya terutama untuk menusuk adalah ujung Rèncong yang runcing. Perut Rèncong digunakan untuk membelah, kemudian disusul batang Rèncong yang sering digunakan untuk menguak. Lengkung memberi batas tertentu sebagai pengendali gagang atau sebagai alat penekan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa perut Rèncong dalam penggunaannya merupakan alat pembelah yang sangat menentukan terhadap luka yang dialami pihak lawan.
Rèncong tidak langsung digosok atau diasah pada batu asah, melainkan dikikir atau digosok matanya pada bahagian yang tajam dengan kikir, dengan benda logam yang lain, terutama pada perut Rèncong. Jadi perut Rèncong sebagai alat pembedah membutuhkan kelicinan bagian mata yang tajam.
Sebagai senjata tajam dalam perang bagian perut Rèncong digosok dengan zat cair yang berbisa, sehingga bila rèncong sudah ditikamkan pada perut, atau bagian badan musuh dengan cepat zat cair yang berbisa itu akan melumpuhkan keseimbangan lawan, sehingga secara bertubi-tubi pula rèncong ditikam ke badan lawan. dan lawanpun tidak mampu lagi melakukan perlawanan. Selain itu keseluruhan mata rèncong sering pula digosok benda-benda beracun seperti tuba tikóih (racun tikus), tuba bui (racun babi) dan jenis-jenis racun lainnya.
Juga pada perut rèncong terdapat sejenis bintik-bintik atau kurèë atau sisik-sisik, yang menurut ahli besi mengandung khasiat zat yang berbisa. Tanda-tanda seperti ini banyak terdapat pada rèncong-rèncong yang ditempa oleh ahli-ahli besi zaman dahulu, sehingga rèncong yang seperti itu masih sangat berharga dalam masyarakat Acèh sampai sekarang.
4. Ujung Rèncong.
Berbicara tentang ujung rèncong berarti membicarakan bagian terakhir dari sebentuk rèncong Acèh, ujung rèncong ini adalah bagian terakhir dari rèncong yang sangat tajam. Ujung rèncong inilah yang menentukan tembus atau tidaknya saat ditikamkan ke sasarannya.
Kebanyakan bagian ujung rèncong bukanlah hanya bagian yang runcing saja, tetapi termasuk juga bagian bawahnya, yaitu bagian terakhir dari perut rèncong. Ujung rèncong yang tajam itu demikian pentingnya, sehingga dalam masyarakat Acèh timbul satu istilah : "Meungnyó beuhö kah kacók bak ujöng rincöng mantóng" artinya "Kalau engkau berani ambil diujung rèncong saja". Istilah itu dikeluarkan apabila seeorang bertengkar dengan orang lain, dalam suatu masalah harta benda. Bila seseorang menganggap dirinya yang benar, barulah mencetuskan peringatan keras itu bagi yang menantangnya. Bila sipenantang menganggap dirinya benar, ia membalas peringatan keras itu dengan suatu perkelahian sengit yang tidak jarang membawa kematian.
Jadi di dalam masyarakat Acèh ada semacam pantangan untuk mengeluarkan istilah yang bernada mengancam, karena apabila dikeluarkan juga istilah itu, akan membawa malapetaka bagi salah satu pihak atau kedua belah pihak yang bertentangan itu. Dengan demikian jelaslah bahwa ujung rèncong sangat dipentingkan baik bentuk maupun keruncingannya, khususnya dalam rangka fungsi sebagai sebilah rèncong.
Bila seseorang ingin memperlihatkan sebilah rèncong kepada kawannya, tidaklah dia mengeluarkan seluruh mata rèncong dari sarungnya. Ia cukup memperlihatkan sumbu putingnya, lengkungan, batang dan perut saja, karena ada anggapan dalam masyarakat Acèh, bila mengeluarkan ujung rèncong yang runcing dan mempermainkan atau menyentik-nyentik ujung yang runcing itu dihadapan teman atau muka umum adalah tabu atau sangat terlarang. Hal ini dapat membawa mara bahaya bagi siempunya rèncong.
5. Batang Rèncong.
Batang Rèncong ( dalam bahasa Acèh disebut "bak rincöng") merupakan mata rèncong yang pertama setelah puting atau reukuëng, reuëngguëk (tenggorokan) atau leher yang dibungkus dengan hiasan emas atau suasa. Ukiran yang indah pada pembungkus puting merupakan hiasan. Pada batang rèncong diberi sedikit bergigi dengan maksud lebih melukai pinggir atau sisi bagian-bagian yang dilalui mata rèncong pada sasarannya. Gerigi kecil itu bersambung hingga ke atas (bagian gagang = sumbu) dimana terdapat lingkungan tajam yang mengembang.
Batang rèncong merupakan tumpuan kekuatan sebilah rèncong secara keseluruhan yang tidak pula kurang pentingnya. Batang rèncong lebih tebal dan kukuh dalam penempaannya dibandingkan dengan perut dan ujung rèncong, karena fungsi rèncong yang utama ialah untuk menusuk bukan untuk memotong, dengan demikian jelaslah tujuan membuat batang lebih tebal dan kukuh. Sebahagian dari batang rèncong sebelah lehernya tidak dipertipis bagan baahnya. Ini menunjukkan bahwa batang rèncong mampu mengendalikan matanya yang tajam dan terdapat pada perut rèncong, disamping leher, puting dan gagangnya.
Kalau kita bandingkan rèncong dengan keris Jawa maka tampaknya ada perbedaan dalam bentuk pembuatannya. Keris Jawa terdapat bentuk jalur yang sama sebelah putingnya, sedngkan pada rèncong bentuknya itu mempunyai bentuk-bentuk tertentu, sehingga memperlihatkan suatu kombinasi tertentu yang menarik dan menjelmakan kata-kata "Bismillah" dalam aksara Arab : بسم الله
Dalam masyarakat Acèh, setiap warganya diwajibkan untuk memulai sesuatu pekerjaan dengan membaca kalimah suci itu. Kalau kita perhatikan keseluruhan dari sebilah rèncong yang diletakkan di atas suatu tempat dengan bagian matanya yang tajam ditelungkupkan kebawah, jelas menunjukkan kalimah suci " BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM" dalam aksara Arab :
Sehingga dalam masyarakat Acèh timbul suatu istilah bahwa siapa yang melangkahi rèncong itu hukumnya dosa.
Gambar Rèncong
1. Batang rèncong.
2. Fungsi kedudukan puting rèncong
didalam gagang
3. Gagang rèncong bentuk rèncong
meucugèëk
4. Bagian rèncong yang disebut cugèëk
1. Puting rèncong.
2. Batang rèncong.
3. Batang rèncong.
Batang rèncong, yaitu bagian besi yang menghubungkan puting dengan bengkuang
rèncong
1. Batang rèncong.
2. Bengkuang rèncong yang berbentuk
kuku elang atau kuku rajawali.
3. Bagian pangkal rèncong sebelah mata
rèncong.
4. Bengkuang rèncong.
Bengkuang rèncong ini bila diartikan dalam bahasa Indonesia, agaknya lebih tepat
disebut kuku elang atau kuku rajawali rèncong. Gunanya sebagai kuku penyangkut,
apabila disarungkan berfungsi sebagai sangkutan bila diselipkan pada pinggang si-
pemakainya.
1. Bengkuang rèncong.
2. Bagian pangkal rèncong.
3. Bagian batang rèncong yang di-
katakan juga reukueng-reukueng.
5. Perut rèncong
Perut rèncong merupakan bagian mata rèncong yang letaknya ditengah-tengah
mata rèncong. Bagian ini diasah sehingga tajam, yang kadang-kadang diperguna-
kan untuk memotong sesuatu benda yang agak keras.
1. Perut rèncong.
2. Arah kebagian pangkal rèncong.
3. Arah kebagian ujung rèncong.
4. Bagian yang diasah sehingga tajam,
untuk memotong sesuatu yang agak
keras.
6. Ujung rèncong.
Ujung rèncong adalah bagian mata rèncong yang runcing, karena pada bagian
ujung rèncong itulah yang menentukan tembus tidaknya sesuatu benda yang ditusuk
atau ditancapkan dengan sebilah rèncong. Di samping itu digunakan pula untuk
menggores sesuatu benda yang hanya mempan ditembus oleh ujung rèncong.
1. Ujung rèncong.
2. Arah kebagian perut rèncong.
3. Ujung yang sangat runcing untuk
menembus sasarannya.
Sarung Rèncong.
Sarung rèncong (dalam bahasa Acèh diebut "saröng rincöng") yaitu benda pembungkus sebilah rèncong. Sarung rèncong mempunyai bentuk seperti mata rèncong itu sendiri dan menurut ukuran rencong tersebut. Untuk lebih memperindah bentuk sarung rèncong dibagian ujungnya diberi berlekuk ke atas dengan gerigi seperti kuku harimau atau kucing. Pada bagian bawahnya diberi bentuk tertentu pula dimana nanti, bila orang menyelipkan dipinggang ada semacam "cungkèh" (bentuk kuku) yang terpasang pada tali pinggang sehingga rèncong itu tidak mudah jatuh.
1. Puting rèncong.
2. Batang rèncong.
3. Batang rèncong.
Batang rèncong, yaitu bagian besi yang menghubungkan puting dengan bengkuang
rèncong
1. Batang rèncong.
2. Bengkuang rèncong yang berbentuk
kuku elang atau kuku rajawali.
3. Bagian pangkal rèncong sebelah mata
rèncong.
4. Bengkuang rèncong.
Bengkuang rèncong ini bila diartikan dalam bahasa Indonesia, agaknya lebih tepat
disebut kuku elang atau kuku rajawali rèncong. Gunanya sebagai kuku penyangkut,
apabila disarungkan berfungsi sebagai sangkutan bila diselipkan pada pinggang si-
pemakainya.
1. Bengkuang rèncong.
2. Bagian pangkal rèncong.
3. Bagian batang rèncong yang di-
katakan juga reukueng-reukueng.
5. Perut rèncong
Perut rèncong merupakan bagian mata rèncong yang letaknya ditengah-tengah
mata rèncong. Bagian ini diasah sehingga tajam, yang kadang-kadang diperguna-
kan untuk memotong sesuatu benda yang agak keras.
1. Perut rèncong.
2. Arah kebagian pangkal rèncong.
3. Arah kebagian ujung rèncong.
4. Bagian yang diasah sehingga tajam,
untuk memotong sesuatu yang agak
keras.
6. Ujung rèncong.
Ujung rèncong adalah bagian mata rèncong yang runcing, karena pada bagian
ujung rèncong itulah yang menentukan tembus tidaknya sesuatu benda yang ditusuk
atau ditancapkan dengan sebilah rèncong. Di samping itu digunakan pula untuk
menggores sesuatu benda yang hanya mempan ditembus oleh ujung rèncong.
1. Ujung rèncong.
2. Arah kebagian perut rèncong.
3. Ujung yang sangat runcing untuk
menembus sasarannya.
Sarung Rèncong.
Sarung rèncong (dalam bahasa Acèh diebut "saröng rincöng") yaitu benda pembungkus sebilah rèncong. Sarung rèncong mempunyai bentuk seperti mata rèncong itu sendiri dan menurut ukuran rencong tersebut. Untuk lebih memperindah bentuk sarung rèncong dibagian ujungnya diberi berlekuk ke atas dengan gerigi seperti kuku harimau atau kucing. Pada bagian bawahnya diberi bentuk tertentu pula dimana nanti, bila orang menyelipkan dipinggang ada semacam "cungkèh" (bentuk kuku) yang terpasang pada tali pinggang sehingga rèncong itu tidak mudah jatuh.
Rèncong dengan cugèëk yang tidak sempurna (atas)
dan rèncong meucugèëk dengan motif sisik buah rumbia pada gagangnya (bawah)
Sarung rèncong itu terbuat dari bermacam-macam benda, ada dari tanduk dan gading gajah. Ada yang terbuat dari kayu pilihan seperti bak kupula, batang nangka dan batang asan. Sarung rèncong tersebut selalu diperlicin (dihaluskan permukaannya) bagian luar terlebih dahulu.
Cara mengerjakan sarung rèncong, mula-mula dibentuk acuan bengkuang rèncong, yakni bagian teratas dari rèncong. Kemudian dibentuk bagian batang rèncong dan perut sesuai dengan panjang kedua bagian rèncong itu. Selanjutnya barulah dibentuk bagian terakhir, yakni bagian ujung rèncong. Bagian ini dilengkungkan ke atas sebagai suatu model tersendiri dimana di bagian ujung dibentuk lekuk-lekuk berbentuk kuku harimau atau kucing. Lengkungan bagian ujung ini memberi suatu kemungkinan bagi rèncong itu untuk tidak mudah meluncur ke bawah. Jadi diberinya lengkungan dibagian atas yang diberi berkuku atau bergerigi itu untuk sekedar menahan tekanan berat rèncong.
Sarung rèncong diperkuat dengan empat atau tiga buah lilitan. Lilitan ini dimaksudkan agar sarung rèncong berat dan kuat. Lilitan itu ada yang terbuat dari emas, perak, suasa dan tembaga. Ini tergantung pada kemampuan sipemiliknya, karena dengan adanya itu bukan saja sarung rèncong bertambah kuat tetapi juga indah dan menarik.
Cara mengerjakan sarung rèncong, mula-mula dibentuk acuan bengkuang rèncong, yakni bagian teratas dari rèncong. Kemudian dibentuk bagian batang rèncong dan perut sesuai dengan panjang kedua bagian rèncong itu. Selanjutnya barulah dibentuk bagian terakhir, yakni bagian ujung rèncong. Bagian ini dilengkungkan ke atas sebagai suatu model tersendiri dimana di bagian ujung dibentuk lekuk-lekuk berbentuk kuku harimau atau kucing. Lengkungan bagian ujung ini memberi suatu kemungkinan bagi rèncong itu untuk tidak mudah meluncur ke bawah. Jadi diberinya lengkungan dibagian atas yang diberi berkuku atau bergerigi itu untuk sekedar menahan tekanan berat rèncong.
Sarung rèncong diperkuat dengan empat atau tiga buah lilitan. Lilitan ini dimaksudkan agar sarung rèncong berat dan kuat. Lilitan itu ada yang terbuat dari emas, perak, suasa dan tembaga. Ini tergantung pada kemampuan sipemiliknya, karena dengan adanya itu bukan saja sarung rèncong bertambah kuat tetapi juga indah dan menarik.
Sarung rèncong pada umumnya lebih banyak diperbuat dari tanduk kerbau atau sapi, karena tanduk mudah diperoleh. Lagi pula tanduk bila diurus dan dijaga dengan baik akan memberikan keindahan tersendiri terutama sinarnya. Sarung rèncong yang terbuat dari jenis kayu dapat diberi bermacam-macam ukiran, tetapi tidak mengeluarkan sinar yang berarti, sehingga orang lebih senang memilih tanduk dari pada jenis lainnya.
Mengenai bentuk ukiran-ukiran yang terdapat pada sarung rèncong mengandung pula suatu magis, seperti nilai magis yang terdapat pada keris di Jawa. Jenis ukiran yang terdapat pada sarung rèncong, misalnya seperti corak-corak ular, naga, ayam jago, burung nuri, kupu-kupu, dan juga ada ukiran gambar-gambar bunga yang disukai oleh sipemesannya. Kalau kita memperhatikan sarung rèncong yang dibuat dari gading gajah atau tanduk, dewasa ini ukiran-ukirannya sudah jarang dijumpai. Sarung rèncong kini sering terlihat polos saja. Keindahannya terletak pada sinar yang dipencarkan dari gading yang telah dipulas. Rèncong lebih berfungsi sebagai senjata tangan tanpa unsur seninya. Nilai-nilai seni dan nilai-nilai magiche religious sudah mulai kurang diperhatikan.
Pengaruh Kharisma Rèncong dalam masyarakat Acèh.
Pengaruh Kharisma Rèncong dalam masyarakat Acèh.
Dalam membuat sebilah rèncong yang asli dianggap berkhasiat, tidaklah seperti menempa sebilah senjata tajam lainnya selain ditentukan oleh keahlian-keahlian tertentu, juga harus mempunyai khasiat yang harus dipenuhi oleh pencipta rèncong itu sendiri.
Pada waktu pertama sekali rèncong itu diciptakan oleh ahli-ahli "Pandé Busóë" (pandai besi) dimasa dulu, mereka terlebih dahulu melakukan pertapaan ("kaluët" bahasa Acèh) guna melahirkan khasiat-khasiat untuk menghasilkan karyanya itu, akhirnya terwujudlah hasil ciptaan mereka berupa rèncong.
Ciri khusus dari bentuk gagangnya tampak sangat berlainan dengan keris Jawa dan siwah (salah satu senjata terdahulu di Acèh), pada bagian-bagian ujung gagangnya yang merupakan genggaman tangan sedikit dibengkokkan ke atas sehingga apabila tersebut telah berlumuran darah namun genggaman tangan pada rèncong tetap tidak pernah terlepas. Tidak seperti senjata lainnya, bila digunakan dalam suatu pertempuran jarak dekat tidak memberi kelebihan seperti yang terdapat pada rèncong. Hal ini pula yang telah membuat kekaguman tentara Portugis dalam menghadapi pasukan tempur Sultan Al Qahar, terutama bila mereka menghadapi pasukan Kerajaan Acèh dalam pertempuran-pertempuran jarak dekat, yang menggunakan rèncong sebagai senjatanya.
Dalam pengusiran penjajahan Portugis di Selat Malaka dan menghambat Armada Portugis yang ingin mencengkeram kukunya di Pulau Sumatera, senjata rèncong telah membuktikan betapa penting peranan dan fungsinya disamping senjata-senjata lainnya yang digunakan oleh Lasykar Kerajaan Acèh.
Adakalanya di dalam masyarakat Acèh banyak terdapat rèncong berkhasiat yang sudah turun temurun bahkan dianggap sebagai benda pusaka yang perlu dinilai sebagai harta warisan yang selalu dijaga dan diberi perawatan. Biasanya rèncong pusaka ini tidaklah dipakai sembarangan saja,.karena dianggap mempunyai kehormatan-kehormatan dan kekuatan-kekuatan tertentu. Bahkan tempat penyimpanannya pun pada tempat-tempat tertentu yang biasanya sangat dirahasiakan.
Bila berjalan dimalam hari terutama ditempat-tempat yang gelap, rèncong pusaka merupakan teman yang akrab yang sangat berguna bagi orang yang bersangkutan, karena makhluk-makhluk seperti iblis, jin, tuleuëngdóng (sejenis makhluk halus yang sering dijumpai orang secara mendadak biasanya ditempat-tempat yang gelap bila hujan rintik-rintik, bentuknya tinggi dan hitam) yang ingin mengganggunya akan dapat melindungi orang tersebut, karena adanya kekuatan-kekuatan gaib yang dikandung oleh rèncong pusaka yang disiapkan dipinggangnya. Selain itu bila ada orang yang kemasukan arwah orang mati karena mati berdarah dapat segera disembuhkan dengan diberikan air rendaman dari rèncong pusaka. Hal ini biasanya dilakukan oleh para dukun yang dengan kekuatan-kekuatan magis dan doanya melakukan jampi-jampian dan perendaman rèncong pusaka ke dalam air dan diberikan untuk seseorang yang diserang oleh roh jahat itu sehingga yang diserang segera dapat disembuhkan. Oleh karena itu kekuatan-kekuatan gaib yang terdapat pada rèncong pusaka dianggap dapat membantu manusia bila mereka diserang makhluk halus ataupun roh jahat yang setiap saat dapat mengganggu kehidupan manusia.
Rèncong pusaka dianggap sangat berbahaya apabila tergores ataupun tertikam pada bahagian tubuh manusia, selain dapat menimbulkan akibat infeksi, bahkan tidak jarang dapat membawa kematian, karena bisa beracun yang dikandung rèncong pusaka itu. Sering kali timbul anggapan seseorang itu bangga hati, bila rèncong yang dimilikinya berasal dari seseorang yang mempunyai kedudukan terpandang dalam masyarakat pada masa dahulu. Seperti rèncong Raja-raja, Panglima Perang. atau Uèë Balang, yang seolah-olah kegagahan atau kewibawaan dari sipemakai terdahulu telah turut menjiwai sipemakai melalui benda rèncong itu, hingga gengsi dan keberanian pemakai ikut bertambah, karena pengaruh benda yang dianggap mengandung azimat dan berkah tersebut.
Semakin terpandang kedudukan terdahulu semakin bertambah pula pentingnya azimat dan berkah rèncong itu sendiri, hal ini pula yang menyebabkan rèncong-rèncong pusaka menjadi bahan rebutan yang sangat tinggi nilainya.
Senjata ini matanya berbentuk rèncong sedangkan sarung dan gagangnya yang berbeda. Jenis senjata ini disebut "siwaih".
Bila hal ini dihubungkan dengan kekuatan manna yang disebutkan oleh pemegang rèncong yang terdahulu tentulah ada hubungannya dengan anggapan bahwa dengan kekuatan manna yang dipunyai atau dikandung akibat rèncong tersebut telah dijamah oleh orang terdahulu dianggap mempunyai kedudukan terpandang dalam masyarakat.
Kuat atau tidaknya kekuatan manna yang dikandung, sangat tergantung pada derajat jenjang kedudukan pemilik rèncong tersebut pada masa yang lalu. Sehingga bila sebilah rèncong yang disisipkan dipinggang berasal dari seseorang yang mempunyai kedudukan yang tertentu yang dianggap terpandang dalam masyarakat, bagi sipemakai merupakan suatu kebanggaan, karena itu dapat membawa sesuatu berkah kepadanya.
Dilihat dari segi bentuknya seperti yang telak diuraikan sebelumnya tampak adanya perpaduan antara seni dan budaya Islam dalam penciptaan rèncong itu sendiri yang berbentuk tulisan (aksara) Arab yaitu kata Bismillah (dengan nama Allah) merupakan kekuatan pokok yang mengendalikan prilaku kehidupan umat manusia dengan Allah sebagai pencipta dan merupakan penguasa semesta alam. Adanya hubungan itu menunjukkan dari jiwa keagamaan yaitu Islam yang menjiwai prikemanusiaan masyarakat Acèh sepanjang masa. Pelambang bentuk tulisan telah mewujudkan suatu keagungannya mengenang nama Allah disaat perang berlangsung dengan jiwa dan semangat keagamaan untuk mati syahid setiap pemakaiannya siap untuk menghujamkan rèncongnya ketubuh sang korban, guna menegakkan kebenaran dan keadilan. Hal ini tidak terlepas dengan keyakinan yang sesungguhnya dalam melakukan suruhan Allah sebagai pencipta, tidak akan pernah dilupakan.
Keyakinan ini telah turut memberi dorongan keberanian bagi para pejuang terdahulu dengan menggunakan senjata rèncong, mereka telah berbuat dengan penuh keyakinan guna membela Agama dan tanah air, walaupun sampai pada tetesan darah terakhir, karena darah yang mengalir akan ditebus dengan kemenangan untuk menegakkan Agama Allah. Hal ini dibarengi pula dengan keyakinan mati syahid, yaitu mati di jalan Allah yang untuk seterusnya akan jadi perpindahan kehidupan dari alam dunia yang serba baharu ini menuju kedudukan yang serba kekal yaitu kehidupan di Surga.
Keampuhan dan kesaktian rèncong memang telah dibuktikan oleh rakyat Acèh dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda, dimana tidak sedikit musuh yang tewas diujung rèncong para pejuang Acèh, sehingga ternyata ini cukup dikagumi oleh Belanda dalam menghadapi perang pejuang Acèh, yang terkenal fanatik dalam membela Agama untuk mengusir kafir (kafé) Belanda antara hidup dan mati syahid dalam perang.
Rèncong dan Siwaih
Dalam kehidupan sehari-hari dikenal adanya orang yang kebal (tidak mempan peluru dan senjata tajam), karena itulah pada zaman dahulu orang menempa rèncongdari campuran bermacam-macam jenis besi yang didalamnya dibubuhi pula dengan jampian doa-doa yang mempunyai khasiat-khasiat tertentu pula. Campuran jenis besi ini dimaksudkan untuk menghadapi musuh yang akan ditikam (disebabkan ada orang yang mempan untuk ditembusi sesuatu jenis besi) namun untuk jenis besi lainnya kadang-kadang tubuh orang yang kebal itu mempan atau dapat ditembusinya, sehingga memerlukan jenis besi lainnya.
Sudah barang tentu dengan pencampuran berbagai jenis besi ini dapat dihindari terjadinya kemungkinan-kemungkinan seperti di atas dalam menghadapi lawan atau musuh.
Jadi jenis rèncong yang semacam ini, jauh berbeda dengan rèncong yang ditempa dewasa ini yang hanya diperbuat dari satu jenis besi saja, misalnya dari jenis besi hitam, besi putih, kuningan, tembaga dan lainnya. Cara pembuatannyapun bisa sembarangan saja oleh tukang-tukang pandai besi, sedangkan rèncong terdahulu penciptanya tidak sembarang orang, karena selain dituntut kepandaiannya dalam menempa besi juga dituntut keahlian-keahlian tertentu untuk dapat memenuhi syarat-syarat khasiat dan doa-doa.
Dapat dikemukakan juga bahwa ukiran yang terdapat pada sarung rèncong mempunyai makna dan khasiat tertentu. Pada sarung rèncong yang ukirannya ular naga, ayam jago, burung nuri atau kupu-kupu, atau keseluruhan corak binatang, ditujukan hanya untuk bernilai seni saja.
Dalam mayarakat Acèh ukiran-ukiran dapat menggambarkan bahwa pemilik rèncong itu mempunyai pertanda baik ataupun buruk bagi sipemilik rèncong, misalnya terjadi kecelakaan, kalah judi, atau kalah dalam pertarungan, maka rèncong tersebut dinilai tidak berharga dan selanjutnya akan difungsikan sebagai besi tua atau hanya sebagai alat penggores pelepah rumbia saja (tidak mempunyai kekuatan). Denga demikian dapatlah dikatakan bahwa ukiran-ukiran yang dijumpai pada sarung rèncong mempunyai nilai seni dan sekaligus bernilai magis pada ukirannya.
Jenis-jenis senjata tusuk Acèh
1. Ulèë lapan sagóë
2. Siwaïh
3. Ulèë bóh glima
4. Ulèë paróh blèsèkan
5. Ulèë dandan
6. Ulèë meucagè
7. Ulèë janggot
Semoga bermanfaat............
Dalam pengusiran penjajahan Portugis di Selat Malaka dan menghambat Armada Portugis yang ingin mencengkeram kukunya di Pulau Sumatera, senjata rèncong telah membuktikan betapa penting peranan dan fungsinya disamping senjata-senjata lainnya yang digunakan oleh Lasykar Kerajaan Acèh.
Adakalanya di dalam masyarakat Acèh banyak terdapat rèncong berkhasiat yang sudah turun temurun bahkan dianggap sebagai benda pusaka yang perlu dinilai sebagai harta warisan yang selalu dijaga dan diberi perawatan. Biasanya rèncong pusaka ini tidaklah dipakai sembarangan saja,.karena dianggap mempunyai kehormatan-kehormatan dan kekuatan-kekuatan tertentu. Bahkan tempat penyimpanannya pun pada tempat-tempat tertentu yang biasanya sangat dirahasiakan.
Bila berjalan dimalam hari terutama ditempat-tempat yang gelap, rèncong pusaka merupakan teman yang akrab yang sangat berguna bagi orang yang bersangkutan, karena makhluk-makhluk seperti iblis, jin, tuleuëngdóng (sejenis makhluk halus yang sering dijumpai orang secara mendadak biasanya ditempat-tempat yang gelap bila hujan rintik-rintik, bentuknya tinggi dan hitam) yang ingin mengganggunya akan dapat melindungi orang tersebut, karena adanya kekuatan-kekuatan gaib yang dikandung oleh rèncong pusaka yang disiapkan dipinggangnya. Selain itu bila ada orang yang kemasukan arwah orang mati karena mati berdarah dapat segera disembuhkan dengan diberikan air rendaman dari rèncong pusaka. Hal ini biasanya dilakukan oleh para dukun yang dengan kekuatan-kekuatan magis dan doanya melakukan jampi-jampian dan perendaman rèncong pusaka ke dalam air dan diberikan untuk seseorang yang diserang oleh roh jahat itu sehingga yang diserang segera dapat disembuhkan. Oleh karena itu kekuatan-kekuatan gaib yang terdapat pada rèncong pusaka dianggap dapat membantu manusia bila mereka diserang makhluk halus ataupun roh jahat yang setiap saat dapat mengganggu kehidupan manusia.
Rèncong pusaka dianggap sangat berbahaya apabila tergores ataupun tertikam pada bahagian tubuh manusia, selain dapat menimbulkan akibat infeksi, bahkan tidak jarang dapat membawa kematian, karena bisa beracun yang dikandung rèncong pusaka itu. Sering kali timbul anggapan seseorang itu bangga hati, bila rèncong yang dimilikinya berasal dari seseorang yang mempunyai kedudukan terpandang dalam masyarakat pada masa dahulu. Seperti rèncong Raja-raja, Panglima Perang. atau Uèë Balang, yang seolah-olah kegagahan atau kewibawaan dari sipemakai terdahulu telah turut menjiwai sipemakai melalui benda rèncong itu, hingga gengsi dan keberanian pemakai ikut bertambah, karena pengaruh benda yang dianggap mengandung azimat dan berkah tersebut.
Semakin terpandang kedudukan terdahulu semakin bertambah pula pentingnya azimat dan berkah rèncong itu sendiri, hal ini pula yang menyebabkan rèncong-rèncong pusaka menjadi bahan rebutan yang sangat tinggi nilainya.
Senjata ini matanya berbentuk rèncong sedangkan sarung dan gagangnya yang berbeda. Jenis senjata ini disebut "siwaih".
Bila hal ini dihubungkan dengan kekuatan manna yang disebutkan oleh pemegang rèncong yang terdahulu tentulah ada hubungannya dengan anggapan bahwa dengan kekuatan manna yang dipunyai atau dikandung akibat rèncong tersebut telah dijamah oleh orang terdahulu dianggap mempunyai kedudukan terpandang dalam masyarakat.
Kuat atau tidaknya kekuatan manna yang dikandung, sangat tergantung pada derajat jenjang kedudukan pemilik rèncong tersebut pada masa yang lalu. Sehingga bila sebilah rèncong yang disisipkan dipinggang berasal dari seseorang yang mempunyai kedudukan yang tertentu yang dianggap terpandang dalam masyarakat, bagi sipemakai merupakan suatu kebanggaan, karena itu dapat membawa sesuatu berkah kepadanya.
Dilihat dari segi bentuknya seperti yang telak diuraikan sebelumnya tampak adanya perpaduan antara seni dan budaya Islam dalam penciptaan rèncong itu sendiri yang berbentuk tulisan (aksara) Arab yaitu kata Bismillah (dengan nama Allah) merupakan kekuatan pokok yang mengendalikan prilaku kehidupan umat manusia dengan Allah sebagai pencipta dan merupakan penguasa semesta alam. Adanya hubungan itu menunjukkan dari jiwa keagamaan yaitu Islam yang menjiwai prikemanusiaan masyarakat Acèh sepanjang masa. Pelambang bentuk tulisan telah mewujudkan suatu keagungannya mengenang nama Allah disaat perang berlangsung dengan jiwa dan semangat keagamaan untuk mati syahid setiap pemakaiannya siap untuk menghujamkan rèncongnya ketubuh sang korban, guna menegakkan kebenaran dan keadilan. Hal ini tidak terlepas dengan keyakinan yang sesungguhnya dalam melakukan suruhan Allah sebagai pencipta, tidak akan pernah dilupakan.
Keyakinan ini telah turut memberi dorongan keberanian bagi para pejuang terdahulu dengan menggunakan senjata rèncong, mereka telah berbuat dengan penuh keyakinan guna membela Agama dan tanah air, walaupun sampai pada tetesan darah terakhir, karena darah yang mengalir akan ditebus dengan kemenangan untuk menegakkan Agama Allah. Hal ini dibarengi pula dengan keyakinan mati syahid, yaitu mati di jalan Allah yang untuk seterusnya akan jadi perpindahan kehidupan dari alam dunia yang serba baharu ini menuju kedudukan yang serba kekal yaitu kehidupan di Surga.
Keampuhan dan kesaktian rèncong memang telah dibuktikan oleh rakyat Acèh dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda, dimana tidak sedikit musuh yang tewas diujung rèncong para pejuang Acèh, sehingga ternyata ini cukup dikagumi oleh Belanda dalam menghadapi perang pejuang Acèh, yang terkenal fanatik dalam membela Agama untuk mengusir kafir (kafé) Belanda antara hidup dan mati syahid dalam perang.
Rèncong dan Siwaih
Dalam kehidupan sehari-hari dikenal adanya orang yang kebal (tidak mempan peluru dan senjata tajam), karena itulah pada zaman dahulu orang menempa rèncongdari campuran bermacam-macam jenis besi yang didalamnya dibubuhi pula dengan jampian doa-doa yang mempunyai khasiat-khasiat tertentu pula. Campuran jenis besi ini dimaksudkan untuk menghadapi musuh yang akan ditikam (disebabkan ada orang yang mempan untuk ditembusi sesuatu jenis besi) namun untuk jenis besi lainnya kadang-kadang tubuh orang yang kebal itu mempan atau dapat ditembusinya, sehingga memerlukan jenis besi lainnya.
Sudah barang tentu dengan pencampuran berbagai jenis besi ini dapat dihindari terjadinya kemungkinan-kemungkinan seperti di atas dalam menghadapi lawan atau musuh.
Jadi jenis rèncong yang semacam ini, jauh berbeda dengan rèncong yang ditempa dewasa ini yang hanya diperbuat dari satu jenis besi saja, misalnya dari jenis besi hitam, besi putih, kuningan, tembaga dan lainnya. Cara pembuatannyapun bisa sembarangan saja oleh tukang-tukang pandai besi, sedangkan rèncong terdahulu penciptanya tidak sembarang orang, karena selain dituntut kepandaiannya dalam menempa besi juga dituntut keahlian-keahlian tertentu untuk dapat memenuhi syarat-syarat khasiat dan doa-doa.
Dapat dikemukakan juga bahwa ukiran yang terdapat pada sarung rèncong mempunyai makna dan khasiat tertentu. Pada sarung rèncong yang ukirannya ular naga, ayam jago, burung nuri atau kupu-kupu, atau keseluruhan corak binatang, ditujukan hanya untuk bernilai seni saja.
Dalam mayarakat Acèh ukiran-ukiran dapat menggambarkan bahwa pemilik rèncong itu mempunyai pertanda baik ataupun buruk bagi sipemilik rèncong, misalnya terjadi kecelakaan, kalah judi, atau kalah dalam pertarungan, maka rèncong tersebut dinilai tidak berharga dan selanjutnya akan difungsikan sebagai besi tua atau hanya sebagai alat penggores pelepah rumbia saja (tidak mempunyai kekuatan). Denga demikian dapatlah dikatakan bahwa ukiran-ukiran yang dijumpai pada sarung rèncong mempunyai nilai seni dan sekaligus bernilai magis pada ukirannya.
Jenis-jenis senjata tusuk Acèh
1. Ulèë lapan sagóë
2. Siwaïh
3. Ulèë bóh glima
4. Ulèë paróh blèsèkan
5. Ulèë dandan
6. Ulèë meucagè
7. Ulèë janggot
Semoga bermanfaat............