Cari Blog Ini

Sabtu, 22 September 2012

Tari Tradisional Rateeb Meuseukat


Asal-Usulnya

Rateep Meuseukat” berasal dari kata-kata rateep (bahasa Aceh), artinya doa. Rateep (doa) untuk Allah SWT dinamai Zikir, rateep (doa) untuk Rasulullah Muhamamad SAW dinamai Selawat. Adapun Meuseukat, diambil dari perkataan Maskawaihi, lengkapnya Ibnu Maskawaihi, seorang filosof Bangsa Irak (Bagdad) yang tergolong ulama besar di Timur Tengah.

Beliau hidup pada zaman pesatnya seni musik dan seni tari didaratan Timur Tengah, yang dipergunakan untuk menyiarkan Agama Islam atau sebagi alat dakwah ke berbagai daerah Asia.

Munculnya.
Kesenian ini muncul setelah Agama Islam berkembang di Aceh, ditampilkan oleh seorang ulama yang bernama Teuku Muhammad Taib, seorang bangsawan Raja dari Kerajaan Kuta Batee (daerah Blang Pidie). Di kerajaan ini terdapat gampoeng (kampung) Rumoh Baro, pusat pendidikan Agama Islam pada masa itu. Rumoh Baro ini memudian berubah menjadi nama desa Meudang Ara, Kecamatan Blang Pidie, Kabupaten Aceh Selatan.
Teuku Muhammad Taib sebelum memimpin pusat pendidikan ini beliau pernah belajar di Samudera Pasai dan tidak lama disana beliau meneruskan pelajarannya keluar negeri yaitu Bagdad. Disanalah beliau menjumpai seorang Ulama, yaitu Ibnu Maskawaihi dan belajar padanya masalah Agama Islam dan juga pengetahuan tentang seni. Setelah beberapa lama belajar disana dan telah mendalami seluk beluk Agama Islam serta pengetahuan seni, beliau kembali ke tanah airnya di kerajaan Kuta Batee (sekarang Blang Pidie).
Mulailah beliau mengembangkan ilmu pengetahuan yang didapatnya sekaligus diserahi pusat pendidikan itu kepadanya. Dalam pimpinannya pendidikan bertambah maju dan banyak murid-murid yang berdatangan kesana dari berbagai daerah Aceh untuk belajar padanya. Beliau dibantu oleh Teuku Idris menentunya dan juga Teuku Ben Mahmud. Murid-murid dari pusat pendidikan ini khusus diperuntukkan untuk kaum wanita saja, tidak menerima kaum laki-laki.
Wanita dari anak-anak umur sekolah sampai kepada wanita dewasa, mereka menerima pelajaran-pelajaran mengenai seluk-beluk agama Islam, pelajaran bahasa Arab dan juga menerima pengetahuan mengenai kesenian. Seni yang dimaksud disini adalah suatu seni yang mengarahkan untuk penyiaran agama Islam, seni yang tidak bertentangan dengan hukum agama Islam dan adat. Seni juga dianggap beliau sebagai unsure penyalur dakwah Agama untuk mempertebal iman dan taqwa kepada Allah SWT. Dengan itulah maka beliau mulai menampilkan dakwah dengan seni.

Bagaimana mulanya.

Kesenian ini mulanya khusus diadakan ketika menyongsong hari kelahiran Nabi Muhammad SAW (Maulid Nabi). Sejak dari satu hari bulan Rabi’ul Awal sampai dengan dua belas hari bulan Rabi’ulawal. Dalam penyambutan inilah mulanya ditampilkan kesenian ini.
Selawat dan pujian terhadap Rasul Allah yang dikumandangkan oleh para murid-murid yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang melakukan gerak-gerakan tangan ke dada, kepala yang digelengkan ke kanan dan kiri serta cara duduknya, bersamaan dengan gerak dan laku dalam shalat. Mempersilahkan jari-jemari antar mereka dengan gerakan yang cepat. Selawat cara ini lama kelamaan dapat tampungan masyarakat dan selanjutnya mendapat perubahan bentuknya, semua pendukung kesenian ini (penarinya) dalam keadaan duduk sama dengan melakukan Shalat dan berbanjar (bersaf).
Pada masa itu kesenian ini hanya boleh ditonton/dipertontonkan untuk kaum wanita saja, tidak diperbolehkan ditonton oleh kaum laki-laki. Juga apabila acara penyambutan hari Maulid Nabi ini selesai diadakan di pusat pendidikan ini, baru boleh didaerah/tempat disekitar Kerajaan dapat melaksanakannya.
Semenjak satu hari bulan Rabi’ulawal sampai dengan dua belas hari bulan Rabi’ulawal semua kegiatan menyambut hari lahirnya Nabi Muhammad SAW (Maulid Nabi) dipusatkan di rumoh baro. Sejak itu mulailah orang melakukan acara kesenian ini didalam upacara penyambutan Maulid Nabi dan kemudian akhirnya kesenian ini di kenal dengan nama “Rateep Meuseukat”.
Akhirnya pada masa pemerintahan Belanda, Ulama-ulama pimpinan pendidikan ini dibuang/diasingkan, seperti Teuku Muhammad Taib dibuang ke Demak dan setelah mendapat cacat buta mata dikembalikan ke Rumoh Baro dan meninggal dunia, Teuku Ben Mahmud diasingkan ke Makassar sedangkan Teuku Idris, neneknya Abdul Ghafur (mantan Menteri Urusan Pemuda) meninggal di Ternate.

Materinya.
Kesenian ini bersifat ritual, juga mengungkapkan semangat untuk mempertebal rasa jihat dalam membela agama Islam, Nusa dan Bangsa.

Cara penyajiannya.

Peserta tari jumlahnya tidak terbatas, sekurang-kurangnya 9 (sembilan) orang dan sampai 15 (lima belas) orang, yang dimainkan khusus oleh wanita duduk berjejer (bersaf satu). Permainan tari ini dipimpin oleh seorang pimpinan yang dinamakan Syech, dimana ia duduk ditengah-tengah barisan serta dia didampingi oleh 2 (dua) orang di kiri dan kanannya yang disebut dengan pengapet syech. Bila seorang peserta sudah merasa lelah, dapat langsung diganti oleh kawannya. Permulaan tari secara duduk dan terakhit semua penari berdiri ditempat masing-masing. Pakaian tari adalah pakaian adapt Aceh sehari-hari.

Penyajian Rateep meuseukat dimulai dengan urutan-urutan/judul syair antara lain pembukaan:

Deungoen Bismillah awai-awai loen peuphoen, haillallah.
Meuato turoen asai-asai bak mula, Haillallah.
Meuato turoen asai-asai bak Nabi, Haillallah.
Wahee ya Saidi seuot-seuot beurata, Haillallah”.

Selanjutnya ucapan salam perkenalan, sajak-sajak pilihan seperti seulaweut (selawat), kisah Hasan Husen (cucunda Nabi Muhammad SAW), pendidikan dan lainnya yang mengarah ke syiar dan dakwah agama Islam. Tari Rateep Meuseukat juga mempunyai ragam gerak tertentu, tetapi diutamakan isi dari sajak-sajak yang dibawakan beserta lagu-lagunya yang menarik hati pendengar.
Tempat penampilan Rateep Meuseukat kebiasaan awalnya diadakan diruangan rumah yang cukup beralaskan tikar dan tidak boleh ditonton oleh kaum laki-laki, kaum laki-laki hanya boleh mendengar suara saja dari luar ruangan/kejauhan.
Penari Rateep Meuseukat berpakaian cukup sopan sesuai engan norma Agama Islam, yaitu bajee boh dokna berlengan panjang, celana panjang (sileueweue meutunjang), kain sarung (ija seuleungki) dan memakai kerudung.

Fungsi.

    1. Upacara (menyambut Maulid Nabi).
    2. Sebagai pendidikan dan penerangan Agama Islam.


( Sumber : Kertas kerja Dept. P dan K Kab. Aceh Selatan,
pada Lokakarya Seni Aceh tahun 1979 ).



1 komentar: